Rabu, 11 April 2012

Kebiadaban Rezim Syiah Nushairiyah (Suriah)

Kebiadaban rezim Nushairiyah Suriah yang didukung oleh negara Syiah Imamiyah Iran dan Rusia secara terang-terangan, serta didukung oleh rezim negara-negara Arab boneka Barat secara tersamar telah menyebabkan lebih dari 5000 warga muslim Suriah gugur, 50.000 warga muslim hilang, dan 70.000 warga muslim ditangkap dan disiksa secara sadis.
Revolusi Suriah telah berlangsung selama sepuluh bulan. Korban muslim setiap hari terus berjatuhan, sementara kebiadaban rezim Nushairiyah tidak pernah berhenti. Melihat gentingnya keadaan di Suriah, semakin banyak ulama dan komandan jihad yang memberikan nasehat keagamaan dan arahan lapangan kepada kaum muslimin Suriah dalam menerjuni kancah revolusi. Yayasan Media Al-Ma’sadah mempublikasikan nasehat-nasehat seorang ulama mujahidin, syaikh Abu Zahra’ az-Zabidi hafizhahullah, untuk kaum muslimin Suriah. Berikut ini terjemahannya.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Yayasan Media Al-Ma’sadah
Beberapa Nasehat Untuk Revolusi Suriah
Oleh:
Asy-syaikh al-mujahid Abu Zahra’ az-Zabidi hafizhahullah

Segala puji bagi Allah Yang telah menaklukkan para diktator dengan kekuasaan-Nya. Segala puji bagi Allah Yang telah mematahkan punggung para taghut dengan keperkasaan-Nya. Kami bersaksi, wahai Rabb kami, bahwa Engkau Maha Mengalahkan, Maha Membalas, Maha Menolong, dan Maha Memenangkan. Segala puji Allah, Engkau Yang telah memasukkan kami dalam golongan yang beribadah kepada-Mu. Maha Suci Engkau, alangkah Agungnya Engkau sebagai Ilah (sesembahan yang haq).
Shalawat dan salam dilimpahkan kepada (Nabi Muhammad SAW) pemimpin para mujahid dan imam golongan yang bertakwa, yang telah mengajarkan kepada kita makna kejantanan dan pengorbanan, yang menghasung kita untuk memerang para taghut, melakukan revolusi melawan mereka, dan melengserkan mereka untuk menerapkan syariat Allah SWT. Kita juga memanjatkan shalawat dan salam kepada keluarga, sahabat, dan setiap orang yang berjalan di atas jalan beliau sampai hari kiamat. Amma ba’du.
Allah SWT berfirman:
كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Allah telah menetapkan takdirnya ‘Aku dan para rasul-Ku benar-benar akan menang’. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Mujadilah (58): 21)
Sebelum demonstrasi-demonstrasi dimulai di Suriah, saya telah menulis sebuah artikel berjudul ‘Apakah demonstrasi-demonstrasi di Suriah akan sukses?’. Dalam artikel itu, saya membahas realita Suriah secara terperinci. Saya menarik kesimpulan bahwa demonstrasi-demonstrasi di Suriah tidak akan sukses karena beberapa faktor yang saya sebutkan dalam artikel tersebut. Saya kemudian menasehatkan beberapa perkara agar demonstrasi-demonstrasi tersebut sukses dan memiliki dampak massal dan merakyat yang kuat sehingga bisa melengserkan rezim Suriah. Namun jika Allah telah menetapkan sebuah perkara, niscaya perkara tersebut akan terjadi baik dengan sebab-sebab, tanpa adanya sebab-sebab, maupun menyelisihi sebab-sebab.
Revolusi di Suriah terjadi tanpa ada perkiraan dan perencanaan sebelumnya. Revolusi berawal dari propinsi Dir’a, seperti yang kita ketahui bersama, karena beberapa anak sekolah dasar menuliskan di papan tulis sekolah beberapa kalimat anti rezim yang berkuasa di Suriah. Setelah itu, mereka ditangkap dan disiksa oleh aparat keamanan, sampai dikatakan kuku-kuku mereka dicabuti. Hal itu mengundang kemarahan para orang tua murid, sehingga terjadi ketegangan antara mereka dengan aparat keamanan. Maka mulailah terjadi revolusi hingga berkembang dalam skala besar seperti yang saat ini kita lihat.
Subhanallah…saya pernah membaca perkataan seorang ulama tabi’in yang mulia, Sa’id bin Musayyib, yang secara sanad dilemahkan oleh para ulama namun berkaitan erat, bahkan sesuai, dengan peristiwa yang saat ini terjadi. Perkataan Sa’id bin Musayyib disebutkan oleh imam Nuaim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan:
Menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Ishaq bin Yahya, dari Muhammad bin Bisyr bin Hisyam, dari Sa’id bin Musayyib, ia berkata:
تَكُونُ فِتْنَةٌ بِالشَّامِ ، كَانَ أَوَّلَهَا لَعِبُ الصِّبْيَانِ ، ثُمَّ لا يَسْتَقِيمُ أَمْرُ النَّاسِ عَلَى شَيْءٍ ، وَلا تَكُونُ لَهُمْ جَمَاعَةٌ حَتَّى يُنَادِيَ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ : عَلَيْكُمْ بِفُلانٍ ، وَتَطْلُعُ كَفٌّ تُشِيرُ
“Akan terjadi fitnah (kekacauan) di Syam, pada awalnya adalah permainan anak-anak kecil, kemudian urusan masyarakat tidak mantap di atas suatu perkara pun, dan mereka tidak memiliki satu kesatuan sampai ada seorang penyeru dari langit yang berseru ‘Hendaklah kalian mengangkat fulan sebagai pemimpin!’, lalu muncul telapak tangan yang menunjuk.”
Peristiwa demi peristiwa terjadi begitu cepat, hari-hari berlalu dengan cepat, dan kemenangan akan dating. Maka selaku kaum muslimin, sembari mengikuti perkembangan peristiwa, kita wajib menyampaikan beberapa nasehat sesuai syariat kepada keluarga kita, orang-orang yang kita cintai, dan saudara-saudara kita di Suriah. Karena agama kita, Islam, tidak bisa dipisahkan dari politik. Semoga beberapa nasehat ini bermanfaat dan membawa kebaikan.
1. Jadikanlah revolusi ini di jalan Allah, dan untuk menegakkan hukum Allah. Karena kalian dan seluruh umat Islam telah mencoba pemberlakuan undang-undang positif selama rentang waktu yang sangat lama. Ternyata undang-undang positif tersebut hanya menambah kebingungan di atas penderitaan, sehingga umat Islam melemah, eksistensinya pudar, negeri-negerinya terjajah, putra-putra terbaiknya dijebloskan, ditimpa oleh kehinaan dan kerendahan, dikuasai oleh segelintir orang yang bodoh dan para penyembah salib yang menimpakan kepada mereka hinanya kelemahan. Hal itu karena umat ini menelantarkan syariat Allah dan diatur dengan undang-undang positif yang rusak.
Maka jadikanlah semboyan kalian adalah ‘Allah dan surga’. Hendaklah kalian mengambil suri tauladan dari para penyihir Fir’aun, yang bekerja untuk menghancurkan dakwah nabi Musa, namun dengan segera mereka beriman kepada Allah, Rabb nabi Musa dan Harun. Sehingga diktator Mesir berlaku biadab dan mengancam untuk membunuh, menyalib, dan menyiksa mereka. Namun mereka memberikan jawaban yang membuat akal sehat kebingungan:
قَالُوا لَن نُّؤْثِرَكَ عَلَى مَا جَاءنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا فَاقْضِ مَا أَنتَ قَاضٍ إِنَّمَا تَقْضِي هَذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
Mereka (para penyihir) berkata: “Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu daripada memilih (tunduk kepada) bukti-bukti nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami dan (Allah) Yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah apa yang ingin kau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya bisa memutuskan dalam kehidupan di dunia ini saja.” (QS. Thaha (20): 72)
Para tukang sihir itu tidak mengerti sedikit pun tentang iman dan belum pernah mempelajari kitab-kitab yang panjang. Di pagi itu mereka adalah para tukang sihir yang jahat, namun di sore hari itu juga mereka telah menjadi para syuhada’ yang banyak berbuat kebajikan. Itulah keteguhan di atas kebenaran dalam menghadapi para penguasa taghut. Itulah keimanan yang telah menyatu dengan relung hati yang paling dalam, sehingga menjadikan hatinya hidup demi akidah.
2. Janganlah kalian mempercayai kaum sekuler dan orang-orang yang membawa semboyan-semboyan yang menyelisihi syariat Allah. Mereka itu adalah musuh yang sesungguhnya, maka waspadailah mereka, jangan mempercayai mereka, dan jangan mendengarkan omongan mereka. Sudah lebih dari cukup umat ini tertipu oleh (semboyan-semboyan dan perbuatan-perbuatan) mereka. Merekalah yang meminumkan kepada umat ini gelas-gelas (berisi) kehinaan dan ketertindasan. Merekalah yang mengembalikan hokum jahiliyah. Mereka pula yang mendatangkan kekuatan Barat dan budaya Barat.
Seorang mukmin tidak boleh terjatuh dua kali dalam lubang yang sama. Ucapan kaum sekuler itu berulangkali menipu rakyat, padahal hati mereka adalah hati srigala. Hati mereka telah mengusung sistem kehidupan yang menyelisihi syariat Allah dengan seluruh pandangan hidupnya. Setiap orang di antara kita telah mengenal mereka. Terkadang mereka tampil sebagai ‘tokoh agama’. Terkadang mereka tampil sebagai ‘reformis’ dan ‘revolusionis’. Wahai keluarga kami d Suriah, janganlah kalian mempercayai tipu daya mereka, karena Allah telah menerangkan sifat mereka dengan firman-Nya:
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan jika engkau melihat mereka, niscaya fisik mereka mengagumkan dirimu. Dan jika mereka berbicara, niscaya engkau mendengarkan ucapan mereka. (Padahal) mereka seperti kayu yang disandarkan. Mereka menyangka setiap teriakan ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh yang sebenarnya, maka waspadailah mereka. Semoga Allah membinasakan. Bagaimana mereka bisa dipalingkan (dari kebenaran).”(QS. Al-Munafiqun (63): 4)
3. Belilah senjata, persiapkan diri kalian dengan senjata, dan rebutlah senjata dari gudang-gudang senjata. Inilah kesempatan kalian satu-satunya untuk melengserkan taghut Syam dan tentara-tentaranya. Janganlah kalian ragu-ragu dalam urusan ini dan janganlah kalian membenarkan orang-orang yang lemah jiwanya, yang duduk-duduk saja di kantor-kantor mereka, membuat teori-teori untuk kalian, dan mengatakan kepada kalian ‘revolusi ini adalah revolusi damai’. Demikianlah yang diinginkan oleh orang-orang yang tidak mengerti makna jihad. Bagaimana mungkin revolusi ini harus damai, sementara musuh kita (rezim Nushairiyah Suriah, pent) tidak mengenal kasih sayang sedikit pun terhadap orang-orang jompo dan anak-anak kecil, tidak peduli terhadap masjid-masjid sehingga rezim merobohkannya, tidak menghormati kesucian kaum wanita sehingga rezim melukai hati mereka dan menodai kehormatan mereka. Bagaimana mungkin musuh yang kafir murtad seperti ini akan kita hadapi dengan ucapan saja, padahal ia bertindak brutal seperti tindakan penjajah Yahudi? Revolusi adalah jihad, revolusi adalah perang. Maka persiapkanlah diri kalian untuk menghadapi jihad fi sabilillah, perbaharuilah niat kalian, dan bawalah senjata kalian! Senjata bagi kalian adalah kewajiban yang paling wajib dan kebutuhan yang paling primer. Maka janganlah kalian mendengarkan ucapan para pengecut dan penggembos semangat! Janganlah kalian menunggu izin dari siapa pun untuk membawa (memiliki) senjata, karena Allah telah mengizinkan bagi kalian dengan firman-Nya:
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan (persiapkanlah) dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, kamu menggentarkan  musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu  tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.” (QS. Al-Anfal (8): 60)
4. Bergabunglah di sekeliling para ulama yang shadiqun (tulus dan jujur membela agama dan rakyat) dan para mujahid yang sabar. Percayailah mereka dan hasunglah keberanian mereka untuk mengemban amanat ini, karena fase saat ini sangat sensitif dan menentukan nasib bagi seluruh negeri Syam. Hanya ada dua pilihan; kita hidup mulia atau kita mengalami apa yang dialami oleh Hamzah bin Abdul Muthalib RA. Jadilah para pembantu bagi mereka, karena kebijaksanaan para ulama yang jujur adalah faktor yang akan mengendalikan (mengarahkan) jalannya revolusi para pemuda yang haus terhadap perubahan.
5. Ketahuilah bahwa hati kaum muslimin di seluruh negara di dunia mendukung kalian. Mereka berharap bisa berada di antara kalian untuk memerangi musuh kalian, kaum Ba’ts yang kafir. Maka janganlah pertahanan Islam diterobos musuh dari arah kalian. Kalian adalah harapan kaum muslimin di seluruh negara di dunia. Bagaimana tidak, sedangkan kalian berada di negeri Syam yang diberkahi, negeri Thaifah Manshurah, negeri kebajikan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
‏إِذَا فَسَدَ أَهْلُ ‏الشَّامِ ، فَلَا خَيْرَ فِيكُمْ ، وَلَا يَزَالُ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي مَنْصُورِينَ لَا يُبَالُونَ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“Jika penduduk Syam telah rusak, maka tiada kebaikan lagi di antara kalian. Dan akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang mendapatkan kemenangan (di jalan Allah), mereka tidak mempedulikan orang-orang yang menelantarkan mereka, sampai datangnya hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: Hadits hasan shahih)
6. Janganlah kalian mempercayai Amerika dan salibis Barat, karena merekalah pihak yang telah mengangkat para taghut sebagai penguasa atas negeri kalian selama masa waktu yang snagat lama ini. Merekalah yang telah membantu para taghut untuk menghancurkan dien Islam. Merekalah yang telah merampok kekayaan alam negeri kita. Merekalah yang telah menyesatkan generasi muda kita dengan media massa mereka yang busuk. Janganlah kalian melupakan kejahatan-kejahatan mereka di Irak, Bosnia, Balkan, Afghanistan, Palestina, Somalia, Filiphina, Pakistan, dan seluruh negeri Islam lainnya. Janganlah kalian mempercayai NATO, antek-anteknya, dan para propagandisnya. Keputusan berada di tangan kalian, kalian mampu mencabut kekuasaan Bashar Asad dan partainya yang terlaknat dengan iman, senjata, dan revolusi kalian. Kalian adalah orang-orang yang berlaku untuk kalian ayat yang agung berikut ini:
{أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ}
“Telah diizinkan bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj (22): 39)
7. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih Muslim dari hadits Jundub al-Bajali dan Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:
وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ  لِعَصَبَةٍ ، أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ ، أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً ، فَقُتِلَ ، فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa berperang di bawah bendera fanatisme buta, ia marah karena fanatisme golongan, atau mengajak kepada fanatisme golongan, atau menolong fanatisme golongan, lalu ia terbunuh maka ia mati dengan cara jahiliyah.”(HR. Muslim, Nasai, dan Ahmad)
Dalam demonstrasi-demonstrasi kalian, janganlah kalian mengangkat semboyan-semboyan jahiliyah yang menyelisihi Islam dan ajaran-ajarannya. Tinggikanlah bendera Laa Ilaaha Illa Allahu, karena ia adalah bendera Rasulullah SAW. Janganlah kalian malu mengangkat bendera Islam, karena semboyan-semboyan itu memiliki dampak di dalam dan di luar. Janganlah lupa bahwa kalian tengah menghadapi ujian yang berat, maka mohonlah pertolongan kepada Allah SWT agar Allah SWT memberikan jalan keluar bagi kalian, menolong kalian, dan menjadikan kalian pemimpin di muka bumi. Allah SWT semata yang memegang perubahan. Revolusi-revolusi ini hanya terjadi atas takdir dan ilmu Allah SWT. Umat ini tengah disiapkan untuk sebuah perkara yang besar. Era kekalahan dan menerima kehinaan telah berlalu, kini datang era perubahan dan pemerintahan berdasar syariat Allah. Inilah zaman kaum muslimin yang akan tercapai pembebasan Masjidil Aqsha dan seluruh negeri kaum muslimin yang lain. Allah SWT berfirman:
وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan Kami hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) (QS. Al-Qashash (28): 5)
8. Janganlah kalian mengganti Bashar Asad yang keji dengan pemimpin lain yang lebih keji darinya. Janganlah kalian terima sebagai pemimpin, seseorang yang bekerjasama dengan musuh dan pada suatu waktu yang lalu membuat konspirasi bersama musuh. Pilihlah orang yang telah lama berjuang dan berjihad melawan pemerintahan Ba’ts selama tahun-tahun sulit. Pilihlah orang yang mempersembahkan pengorbanan ribuan syuhada’ demi menyelamatkan kalian dari hinanya pengabdian kepada partai Ba’ts. Pilihlah orang-orang yang menghabiskan usia muda mereka dalam memerangi partai Ba’ts dan sekutu-sekutunya. Janganlah kalian meninggalkan mereka. Karena kalian adalah orang yang paling mengetahui kondisi dan sifat mereka.

Kepada kelompok-kelompok yang berjihad dan orang-orang yang mendukung mereka, saya sampaikan nasehat sebagai berikut:
  1. Bergabunglah kalian sebanyak mungkin (dalam aksi-aksi jihad), karena Syam sudah tiba masanya. Sebagaimana kalian ketahui, hati kaum muslimin tertuju penuh kerinduan kepada negeri Syam. Maka bersiap-siaplah untuk menghadapi perkara ini dengan sikap kerahasiaan dan menjaga rahasia. Sesungguhnya melengserkan dan membunuh taghut Syam sudah sejarak dua anak panah atau lebih dekat lagi. Penggantinya adalah kalian, wahai orang-orang yang mengusung panji tauhid.
     
  2. Berkoalisilah dengan negara kemuliaan, negara Islam Irak, karena mereka adalah para pemimpin dan komandan kita. Mereka telah lama menyingkirkan kesedihan dan duka cita kita dengan aksi-aksi jihad mereka yang sangat ksatria.  Kita telah mengetahui mereka adalah orang-orang yang jujur, setia, tulus, dan berjihad. Maka dengarkan dan taatilah perintah mereka. Jadilah sebaik-baik tentara bagi mereka. Kalian hanya akan melihat kebaikan dari diri mereka, karena mereka adalah para ahli perang dan orang-orang yang ksatria.
     
  3. Rekam dan dokumentasikanlah aksi-aksi jihad kalian. Fokuskanlah aksi jihad kalian dengan menarget para intel, perwira militer (dan kepolisian), orang-orang Nushairiyah, dan para pemimpin mereka. Hancurkanlah rumah-rumah dan kantor-kantor partai Ba’ts. Fokuslah dalam menggarap bidang media massa dan dokumentasi, karena itu adalah bukti kejujuran aksi kalian, mungkin dalam waktu dekat kalian akan memerlukannya, insya Allah.
     
  4. Janganlah kalian menyampaikan kepada masyarakat kecuali dengan bahasa (ajaran) syariat. Janganlah kalian berkompromi (dengan musuh) dalam agama Allah. Janganlah kalian cenderung (memihak) kepada orang-orang yang zalim. Karena fase sekarang ini adalah fase pemisahan setelah jelasnya jalan perjuangan. Ketahuilah sesungguhnya kemenangan berada di tangan Allah semata, maka mintalah kemenangan kepada Allah dan yakinlah bahwa kemenangan akan dicabut apabila terjadi banyak kemaksiatan.
(muhib al-majdi/arrahmah.com)Picture 



Picture 

Selasa, 10 April 2012

Mengenal Sekte Sesat Khawarij


Mengenal Sekte Sesat Khawarij

Pemikiran Khawarij


إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلاً قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْءًا لِلْإِسْلاَمِ  انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ ، قَالَ : قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي ، قَالَ : بَلِ الرَّامِي
Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kamu adalah seseorang yang membaca Alquran, sehingga apabila telah diperlihatkan kepadanya keindahannya dan tadinya ia adalah pembela Islam, tiba-tiba ia lepas dari Islam dan melemparkan (Alquran) ke belakangnya, dan mendatangi tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya dengan kesyirikan.” Aku berkata (periwayat hadis ed.), “Wahai Nabi Allah, siapakah yang lebih layak kepada kesyirikan, yang dituduh atau yang menuduh?” Beliau menjawab, “Yang menuduh (lebih layak).” (HR. Al Bazzar)[1]
Hadis ini memberitakan kepada kita tentang adanya orang-orang yang banyak hafal Alquran namun menuduh saudaranya dengan kekafiran, bahkan mengafirkan saudaranya karena dosa-dosa yang ia anggap mengeluarkan pelakunya dari Islam, kemudian menghalalkan darahnya.
Dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mereka membaca Alquran namun tidak sampai ke kerongkongannya, beliau bersabda,
يَخْرُجُ مِنْهُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ
Akan keluar darinya (Iraq) suatu kaum yang membaca Alquran namun tidak sampai ke tenggorokannya, mereka lepas dari Islam seperti melesatnya panah dari buruannya.” (HR. Bukhari)
Dan yang dimaksud dengan “tidak sampai ke tenggorokannya” adalah memahaminya dengan pemahaman yang tidak benar. Ia mengira bahwa itu adalah dalil yang menguatkan alasannya, namun sebenarnya tidak demikian, saking dangkalnya pemahaman mereka, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat lain,
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَتْ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ شَيْئًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Alquran, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan mereka tidak ada apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka tidak ada apa-apanya. Mereka membaca Alquran dan mengiranya sebagai pembela mereka, padahal ia adalah hujjah yang menghancurkan alasan mereka. Shalat mereka tidak sampai ke tenggorokan, mereka lepas dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari buruannya.” (HR. Abu Dawud)

Bahkan merekapun membawakan hadis-hadis Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, namun dipahami dengan pemahaman yang tidak benar, sabda Nabi,
يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ
Akan ada di akhir zaman suatu kaum yang usianya muda, dan pemahamannya dangkal, mereka mengucapkan perkataan manusia yang paling baik (Rasulullah), mereka lepas dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, iman mereka tidak sampai ke tenggorokan..” (HR Bukhari)
Pemikiran takfiri (mudah mengkafirkan) adalah pemikiran yang ditakutkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menimpa umatnya, karena ia berakibat yang tidak bagus dan merugikan Islam dan kaum muslimin bahkan merusak citra Islam dan mengotori keindahannya. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengecam keras Khawarij dalam hadis-hadisnya, Abu Ghalib berkata,
رَأَى أَبُو أُمَامَةَ رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَجِ مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَقَالَ أَبُو أُمَامَةَ كِلَابُ النَّارِ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ ثُمَّ قَرَأَ { يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ
قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا حَتَّى عَدَّ سَبْعًا مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ.
“Abu Umamah melihat kepala-kepala (kaum Khawarij) yang dipancangkan di jalan Masjid Damaskus, Abu Umamah berkata, “Anjing-anjing neraka, seburuk-buruknya orang yang terbunuh di kolong langit, dan sebaik-baiknya yang dibunuh adalah orang yang dibunuh oleh mereka (Khawarij), kemudian beliau membaca Ayat, “Pada hari wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah lain menjadi hitam..” Sampai akhir ayat.
Aku berkata kepada Abu Umamah, “Engkau mendengarnya dari Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Aku mendengarnya sekali, dua kali, tiga kali, empat kali sampai tujuh kali. Bila aku tidak mendengarnya, aku tidak akan menyampaikannya kepada kamu.” (HR. At Tirmidzi).

Sifat-Sifat Khawarij


            Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan sifat-sifat mereka, sebagiannya telah kita sebutkan di atas, diantara sifat mereka adalah:

1.      Dangkal Pemahamannya
Telah kita sebutkan di atas, bahwa kaum Khawarij suka membawa dalil dari Alquran dan hadis, namun dipahami dengan pemahaman sendiri, tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh para ulama salafusshalih, walaupun mereka membawakan perkataan ulama, mereka bawakan yang sesuai dengan keinginan mereka saja, atau mengeditnya sedemikian rupa agar terlihat cocok dengan selera mereka sehingga mengelabui orang-orang awam. Tujuan mereka adalah agar pengafiran mereka kepada kaum muslimin menjadi suatu perkara yang dianggap pasti dan meyakinkan, padahal ia hanyalah berdasarkan dugaan dan sangkaan belaka.
Di antara contoh kedangkalan pemahaman mereka adalah sebuah kisah dialog Ibnu Abbas dengan kaum Khawarij, dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadraknya (2:164 no.2656) dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, Ibnu Abbas berkata,
Ketika kaum Haruriyah (Khawarij) keluar dan berkumpul di suatu tempat, jumlah mereka sekitar enam ribu. Aku mendatangi Ali seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, akhirkanlah shalat zuhur, barangkali aku dapat berbicara dengan mereka.” Ali berkata, “Aku mengkhawatirkan keselamatanmu.” Aku berkata, “Tidak perlu khawatir.” Aku pun pergi menemui mereka dan aku memakai pakaian Yaman yang paling bagus kemudian aku mengucapkan salam kepada mereka.
Mereka berkata, “Selamat datang wahai Ibnu Abbas, pakaian apa yang engkau pakai?!! Aku menjawab, “Apa yang kalian cerca dariku, padahal aku pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai pakaian yang paling bagus, dan telah turun ayat,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakan (Muhammad), siapakah yang berani mengharamkan perhiasan dari Allah dan rezeki yang baik yang Allah keluarkan untuk hamba-hambaNya ?” (QS. Al-A’raaf: 32).
Mereka berkata, “Lalu ada apa engkau datang kemari?”
Aku menjawab, “Aku mendatangi kamu dari sisi para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk menyampaikan apa yang mereka katakan dan apa yang mereka kabarkan, kepada mereka Alquran diturunkan, dan merekalah yang paling memahaminya, dan tidak ada di antara kalian yang menjadi shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian mereka berkata, “Jangan berdialog dengan kaum Quraisy, karena Allah Ta’ala berfirman,
 بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS. Az-Zukhruf: 58)[2]
Ibnu Abbas berkata, “Aku belum pernah melihat suatu kaum yang sangat bersungguh-sungguh beribadah dari mereka, wajah-wajahnya mereka pucat karena begadang malam (untuk shalat), dan tangan serta lutut mereka menjadi hitam (kapalan).”
Sebagian mereka berkata, “Demi Allah, kami akan berbicara dengannya dan mendengarkan apa yang ia katakan.”
Ibnu Abbas berkata, “Kabarkan kepadaku, apa alasan kalian memerangi anak paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (Ali bin Abi Thalib), serta kaum Muhajirin dan Anshar?”
Mereka berkata, “Tiga perkara.”
Ibnu Abbas berkata, “Apa itu?”
Mereka berkata, “Ia telah berhukum kepada manusia dalam urusan Allah[3], padahal Allah berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ
“Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah.” (QS. Al An’am: 57).
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang pertama.”
Mereka berkata, “Ia telah memerangi[4] namun tidak menawan tidak juga mengambil ghanimah (harta rampasan perang), jika yang ia perangi itu orang-orang kafir, maka mereka halal ditawan dan dirampas hartanya. Dan jika yang ia perangi adalah kaum mukminin, maka tidak halal memerangi mereka.”
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”
Mereka berkata, “Ia telah menghapus nama amirul mukiminin dari dirinya, jika dia bukan amirul mukminin berarti ia adalah amirul kafirin.”
Ibnu Abbas berkata, “Apa ada alasan lain?”
Mereka berkata, “Cukup itu saja”
Ibnu Abbas berkata, “Bagaimana pendapat kalian, jika aku membacakan kitabullah dan sunah nabi-Nya yang dapat meluruskan pemahaman kalian, apakah kalian ridha?”
Mereka berkata, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali berhukum kepada manusia dalam urusan Allah, bukankah Allah menyuruh mengembalikan kepada hukum manusia dalam seperdelapan seperempat dirham, tentang masalah kelinci dan hewan buruan lainnya?” Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang siapa yang membunuhnya diantara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil diantara kamu..” (QS. Al-Maidah: 95).
Maka saya bertanya kepada kalian dengan nama Allah, apakah hukum manusia untuk kelinci dan binatang buruan lainnya lebih utama, ataukah hukum manusia untuk menjaga darah dan perdamaian di antara mereka?”
Dalam ayat lain, Allah menyuruh mengembalikan hukum kepada manusia mengenai pertikaian suami istri, Allah berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآإِن يُرِيدَآإِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَآإِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan bila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (orang yang akan menghukumi) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga wanita. Jika kedua orang hakam ini bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.” (QS. An Nisaa: 35)
Allah menjadikan manusia sebagai hukum yang dipercaya. Apakah aku telah selesai menjawab alasan pertama ini?
Mereka berkata, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali memerangi namun tidak menawan dan tidak mengambil ghanimah, apakah kamu mau menawan ibumu Aisyah kemudian halal disetubuhi sebagaimana tawanan lainnya?? Jika kamu melakukan itu, maka kamu telah kafir. Dan jika kamu berkata bahwa Aisyah bukan ibu kita (kaum muslimin), maka kamu pun telah kafir, jadi kamu berada diantara dua kesesatan, mana saja yang kamu pilih, maka kamu tetap sesat.”
Maka sebagian mereka melihat kepada sebagian lainnya. Lalu aku berkata, “Apakah aku telah selesai menjawab alasan ini?
Mereka menjawab, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali menghapus nama amirul muminin darinya, maka aku akan bawakan apa yang kalian ridhai. Bukankah kalian telah mendengar bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada hari perdamaian Hudaibiyah, menulis surat kepada Suhail bin Amru dan Abu Sufyan bin Harb, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tulislah hai Ali, ini adalah isi perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah.”
Namun kaum Musyrikin berkata, “Tidak! Demi Allah kami tidak meyakinimu sebagai rasulullah, jika kami meyakinimu sebagai rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, Engkau yang mengetahui bahwa aku adalah rasul-Mu. Tulislah hai Ali, Ini adalah isi perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah.”
Demi Allah, bukankah Rasulullah lebih baik dari Ali ketika menghapus nama rasul darinya?” Ibnu Abbas berkata, “Maka bertaubatlah sekitar dua ribu orang di antara mereka, dan sisanya terbunuh di atas kesesatan.”

2.      Keras dan Kasar
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyifati kaum Khawarij bahwa mereka adalah kaum yang kasar lagi keras perangainya, beliau bersabda,
سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ أَشِدَّاءُ أَحِدَّاءُ ذَلِقَةٌ أَلْسِنَتُهُمْ بِالْقُرْآنِ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ أَلَا فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَأَنِيمُوهُمْ ثُمَّ إِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَأَنِيمُوهُمْ فَالْمَأْجُورُ قَاتِلُهُمْ
Akan keluar dari umatku beberapa kaum yang keras lagi kasar, lisan-lisan mereka fasih membaca Alquran, namun tidak sampai ke tenggorokan mereka.” (HR. Ahmad dan lainnya)[5]

3.      Tidak Menghormati Ulama
Pendahulu mereka tidak menghormati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menganggap Rasulullah tidak berbuat adil, Abu Sa’id Al Khudri berkata,
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا فَقَالَ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ قَالَ وَيْلَكَ مَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ فَقَالَ عُمَرُ ائْذَنْ لِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ قَالَ لَا إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membagi-bagikan harta (dari Yaman), Dzul Khuwaishirah seorang laki-laki dari bani Tamim berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah! Beliau bersabda, “Celaka kamu, siapa yang dapat berbuat adil jika aku tidak berbuat adil.” Umar berkata, “Izinkan saya menebas lehernya.” Beliau bersabda, “Jangan, sesungguhnya dia akan mempunyai teman-teman yang shalat dan puasa kalian, sepele dibandingan dengan shalat dan puasa mereka, mereka lepas dari Islam seperti lepasnya anak panak dari buruannya.” (HR. Bukhari)
Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat, di zaman Ali bin Abi Thalib kaum Khawarij muncul, dan mereka tidak menghormati para ulama dari kalangan shahabat seperti Ibnu Abbas dan shahabat-shahabat lainnya. Sebagaimana dalam kisah dialog Ibnu Abbas dengan Khawarij yang telah disebutkan di atas. Sifat ini kita lihat tidak jauh berbeda dengan kaum Khawarij di zaman ini yang melecehkan para ulama besar seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Bani, Syaikh ‘Utsaimin dan ulama lainnya, dan meledeknya sebagai ulama penjilat atau ulama yang tidak paham realita serta ejekan-ejekan lainnya. Allahul musta’an

4.      Mudah mengkafirkan pelaku dosa besar terutama negara islam yang tidak berhukum dengan  hukum Allah.
Di zaman Ali bin Abi Thalib dahulu, mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin yang tidak setuju dengan pendapat mereka, dengan alasan bahwa Ali berhukum kepada manusia, sedangkan hukum itu milik Allah sebagaimana dalam kisah Ibnu Abbas yang lalu, mereka berdalil dengan ayat,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)

5.      Sangat Hebat Dalam Ibadah
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyifati bahwa mereka adalah kaum yang amat hebat ibadahnya, beliau bersabda,
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَتْ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صِيَامُكُمْ إِلَى صِيَامِهِمْ شَيْئًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
Akan keluar suatu kaum dari umatku, mereka membaca Alquran, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan mereka tidak ada apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka tidak ada apa-apanya. Mereka mengira bahwa Alquran itu hujjah yang membela mereka, padahal ia adalah hujah yang menghancurkan alasan mereka. Shalat mereka tidak sampai ke tenggorokan, mereka lepas dari islam sebagaimana melesatnya anak panah dari buruannya.” (HR. Abu Dawud)
Oleh karena itu, ini adalah pelajaran untuk kita agar jangan tertipu dengan hebatnya ibadah seseorang bila ternyata akidahnya menyimpang dari petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mudah memvonis manusia dengan kekafiran.
Penulis: Ustadz Badrusalam, Lc.

[1] Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Silsilah Shahihah no 3201.
[2] Lihat bagaimana mereka membawakan ayat tersebut untuk Ibnu Abbas seorang ulama shahabat, betapa dangkalnya pemahaman mereka!!
[3] Yaitu ketika terjadi perdamaian antara pasukan Ali dan pasukan Mu’awiyah, dimana Ali mendelegasikan Abu Musa, sedangkan delegasi dari pihak Mu’awiyah adalah Amru bin Al ‘Ash. Perbuatan ini difahami oleh kaum Khawarij sama dengan menyerahkan hukum kepada manusia, padahal hukum itu milik Allah, betapa piciknya mereka. Allahul musta’an. Demikianlah bila hawa nafsu dan kebodohan berbicara, merusak dunia dan agama.
[4] Maksudnya berperang melawan pasukan Mua’wiyah dalam perang shiffin dan melawan pasukan Aisyah dalam perang Jamal, dan peperangan mereka karena ijtihad dan juga perbuatan provokator yang mengadu domba untuk menghancurkan islam.
[5] HR. Ahmad dalam musnadnya dari jalan Utsman Asy Syahham haddatsani Muslim bin Abu Bakrah dari Ayahnya yaitu Abu Bakrah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mengatakan, “Sanad ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.”

Senin, 09 April 2012

UANG KUNCI REZEKI


Oleh
Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA



PENDAHULUAN
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluarga, dan sahabatnya. Amin

Jadi orang kaya?, siapa yang nolak. Makan enak, tanpa perlu bersusah payah masak. Menghuni rumah megah bak istana tanpa perlu menanti bertahun-tahun. Mobil mewah berjejer di depan rumah. Tatap mata kagum senantiasa terasa sejuk di hati anda. Dan gadis-gadis cantik rupawan senantiasa mengimpikan kesempatan menjadi pendamping hidup anda.

Memang enak, rasanya hidup semacam ini. Saya rasa andapun senang bila mendapat kesempatan mewujudkannya. Bukankah demikian saudaraku?

TANPA FULUS HIDUP TERASA GELAP
Impian indah di atas terwujud bila anda memiliki uang yang melimpah dan emas yang menumpuk bak gunung. Karena itu, walaupun anda tidak terlalu muluk-muluk dalam bermimpi, namun anda pasti menyadari bahwa uang adalah kunci terwujudnya berbagai hal di atas. Musuh menjadi sahabat, susah dengan cepat menjadi mudah dan muram sekejap menjadi riang. Semua itu berkat adanya fulus yang terbukti menjadikan segala urusan menjadi terasa mulus.

Wajar bila banyak orang di zaman sekarang berlari mengejar fulus. Tidur karena fulus, bangun karena fulus, berhubungan karena fulus dan bermusuhan pun karena fulus.

Fulus memang benar-benar telah menguasai kehidupan umat manusia. Sampai-sampai semua urusan dan kenikmatan terasa hambar tanpa ada fulus di tangan. Karena begitu besar pengaruh fulus pada kehidupan manusia sampai-sampai ada anggapan bahwa nikmat Allah hanya ada satu yaitu fulus.

Anda tidak percaya? Coba anda ingat-ingat, berapa sering anda mengucapkan kata-kata : “Kalau aku punya rezeki maka saya akan berbuat demikian dan demikian?”. Dan sudah dapat ditebak, maksud anda dari “rezeki” adalah fulus. Bukankah demikian saudaraku?

Berbagai nikmat yang tak ternilai dengan apapun, kesehatan, anak keturunan, akal sehat dan lainnya bagi anda terasa hambar bila kantong sedang kempes. Saking hambarnya, sampai-sampai anda merasa sebagai manusia termiskin dan tersusah di dunia.

Anda lupa bila sejatinya di dunia ini terlalu banyak orang yang mendambakan untuk bisa seperti anda. Mereka merasa bahwa anda adalah manusia terbahagia di dunia ini. Karena itu untuk urusan nikmat senantiasa bandingkan diri anda dengan orang lain yang dibawah anda dan jangan sebaliknya. Dengan cara ini anda dapat menyadari betapa banyak nikmat Allah yang ada pada diri anda.

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)” [Ibrahim : 34]

SENGSARA KARENA ULAH SENDIRI
Saudaraku tahukah anda bahwa pola pikir yang picik dan sudut pandang yang sempit tentang arti nikmat semacam ini adalah biang derita anda selama ini. Tidur tidak nyeyak, makan tidak enak, badan terasa sakit dan urusan seakan sempit. Padahal sejatinya semua derita itu tidak seharusnya menimpa kehidupan anda. Andai anda menyadari hakekat nikmat Allah. Semua ini terjadi karena anda merasa jauh dari nikmatnya.

Di saat anda dihadapkan pada hidangan nasi, tempe, sayuran dan segelas air putih, mungkin anda merasa bersedih. Anda menduga bahwa anda baru mendapat nikmat yang luas bila dapat menyantap hidangan berupa daging, dengan berbagai variasi cara memasaknya, dan dilengkapi dengan berbagai menu lainnya. Akibatnya anda tidak dapat merasakan betapa nikmatnya hidangan tempa dan sayuran tersebut.

Derita anda semakin terasa lengkap karena betapa banyak nikmat Allah yang anda anggap sebagai bencana, anda mengira bahwa diri anda layak untuk menerima rezeki lebih banyak dibanding yang anda terima saat ini.

Akibat dari pola pikir ini anda senantiasa hanyut oleh badai ambisi, dan menderita karena senantiasa berjuang untuk mewujudkan impian anda yang diluar kemampuan anda sendiri.

“Andai engkau telah memiliki dua lembah harta benda, niscaya anda berambisi untuk mendapatkan yang ketiga. Dan tidaklah ada yang mampu menghentikan ambisimu dari mengumpulkan harta kekayaan selain tanah (kematian). Dan Allah menerima taubat orang yang kembali kepada-Nya [Muttafaqun ‘alaih]

Ambisi mengeruk dunia ini menjadikan anda semakin sengsara dan hidup terasa gersang. Kebahagian yang dahulu anda juga tersimpan dibalik kekayaan semakin jauh dari genggaman anda.

“Barangsiapa yang urusan akhirat adalah pusat perhatiannya, Allah letakkan kekayaannya dalam hatinya, urusannya menjadi bersatu, dan rezeki dunia akan menjadi lapang. Sedangkan orang yang pusat perhatiannya adalah urusan dunia, Allah letakkan kemiskinannya ada di pelupuk matanya, urusannya tercerai berai dan rezkinya menjadi sempit” [HR Tirmidzy dan lainnya]

Anda lalai bahwa apapun yang Allah berikan kepada anda adalah yang terbaik bagi Anda.

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ ۚ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jika Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan rezeki-Nya sesuai dengan ukuran yang Ia kehendaki.. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat”. [As-Syura : 27]

Pola pikir yang begitu picik dan hati yag begitu sempit, menjadi biang turunnya murka Allah dan teguran-Nya.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". [Ibrahim : 7]

Cermatilah saudaraku ! Allah berjanji akan menambah dan melipatgandakan nikmat-Nya bila anda mengakui nikmat dan mensyukurinya. Namun sebaliknya, bila anda mengingkari nikmat Allah atau malah meremehkannya, Allah telah menyediakan untuk anda siksa yang pedih.

Camkanlah, sejatinya ancaman Allah pada ayat ini tidak dibatasi akan terjadi di dunia atau di akhirat. Ini pertanda bahwa kedua kemungkinan tersebut sama-sama dapat terjadi pada anda. Siksa Allah bisa saja menimpa anda di dunia dan juga bisa di akhirat. Di dunia, nikmat di cabut dan di ganti dengan derita, dan di akhirat tentu siksa neraka yang pedih telah menanti.

تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رضي وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ

“Semoga kesengsaraan senantiasa menimpa para pemuja dinar, dirham dan baju sutra (pemuja harta kekayaan, pen). Bila ia diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci. Semoga ia menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh tertimpa tangga). Dan bila ia tertusuk duri semoga tiada yang sudi membantunya mencabut duri itu darinya” [HR Bukhari]

JADILAH ORANG YANG PALING BAHAGIA
Saudaraku! Hidup bahagia di dunia dan kelak di akhirat masuk surga tentu cita-cita anda. Dan tentunya, setiap cita-cita agar dapat menjadi kenyataan membutuhkan kepada perjuangan. Dan ketahuilah bahwa ada tiga kunci utama bagi tercapainya kebahagian hidup di dunia.

Senantiasa berserah diri dan puas dengan segala pembagian Allah.

عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh mengherankan urusan seorang yang beriman, sesungguhnya segala urusannya baik, dan hal itu tidaklah dimiliki melainkan oleh orang yang beriman. Bila ia ditimpa kesenangan, ia bersyukur, maka kesenangan itu menjadi baik baginya. Dan bila ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka kesusahan itu baik baginya” [HR Muslim]

Anda menyadari bahwa betapa banyak nikmat Allah yang anda terima.

“Barangsiapa yang di pagi hari merasa aman di kampung halamannya, sehat badannya, dan memiliki makanan yang mencukupinya pada hari itu, maka seakan-akan dunia dan seisinya telah menjadi miliknya” [HR At-Tirmidzy]

Harta kekayaan bukanlah tolok ukur kasih sayang Allah kepada anda.

Saudaraku! Janganlah anda salah persepsi tentang kehidupan dunia, sejatinya dunia berserta isinya tidaklah ada artinya di hadapan Allah. Karenanya, janganlah anda gadaikan kebahagian hidup anda di dunia dan akhirat dengan harta kekayaan dunia yang hina dina.

“Sejatinya Allah Azza wa Jalla telah membagi-bagikan akhlaq kalian sebagaimana Allah juga telah membagi-bagikan rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan harta benda kepada orang yang Ia cintai dan juga kepada orang yang Ia benci. Sedangkan Allah tidaklah melimpahkan iman kecuali kepada orang yang ia cintai. Karenanya bila Allah mencintai seseorang, pastilah Allah melimpahkan keimanan kepadanya” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al Mufrad dan At-Thabrani]

Saudaraku! Dengan mengaplikasikan ketiga hal ini dalam hidup anda, dengan izin Allah, anda menjadi orang yang senantiasa berbahagia di dunia dan juga di akhirat.

PENUTUP
Semoga paparan singkat ini dapat membebaskan anda dari belenggu fulus yang pada zaman ini telah menindas kehidupan umat manusia. Dan dengan ketiganya anda dapat kembali ke dalam rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala, di dunia hingga di akhirat. Semoga paparan singkat ini bermanfaat bagi anda, dan dapat menjernihkan penilaian anda tentang harta dunia secara umum dan fulus secara khusus. Wallahu ‘alam bishshawab.

sumber: al manhaj.or.id

Minggu, 08 April 2012

Wajibnya Taat Kepada Penguasa

Penjelasan tentang Ketaatan kepada penguasa merupakan salah satu dari ushul aqidah ahlussunnah wal jamaah ...
airAllah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (QS. Al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Dan barangsiapa yang berbaiat kepada seorang pemimpin (penguasa) lalu bersalaman dengannya (sebagai tanda baiat) dan menyerahkan ketundukannya, maka hendaklah dia mematuhi pemimpin itu semampunya. Jika ada yang lain datang untuk mengganggu pemimpinya (memberontak), penggallah leher yang datang tersebut.” (HR. Muslim no. 1844)
Penjelasan ringkas:
Ketaatan kepada penguasa merupakan salah satu dari ushul aqidah ahlissunnah wal jamaah, yang jika diselisihi maka akan mengeluarkan pelakunya dari ahlussunnah. Hal ini ditunjukkan oleh amalan dan ucapan para ulama salaf yang mana mereka menyebutkan permasalahan ini dalam kitab-kitab aqidah ahlussunnah yang mereka tulis.
Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam risalah Ushul As-Sunnah, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dan amirul mukminin, baik dia orang yang baik maupun orang yang jahat.”
Imam Ibnu Abi Hatim berkata dalam risalah Ashlu As-Sunnah atau dikenal juga dengan nama I’tiqad Ad-Din, “Saya bertanya kepada ayahku (Abu Hatim) dan juga Abu Zur’ah mengenai mazhab ahlussunnah dalam masalah pokok-pokok agama, dan mazhab yang keduanya mendapati para ulama di berbagai negeri berada di atasnya, dan mazhab yang mereka berdua sendiri yakini. Maka keduanya berkata, “Kami menjumpai para ulama di berbagai negeri, di Hijaz, di Irak, di Mesir, di Syam, dan di Yaman. Maka di antara mazhab mereka adalah …. Kami mendengar dan taat kepada pimpinan yang Allah serahkan urusan kami kepadanya, dan kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepadanya.”
Kami katakan: Maka ini jelas menunjukkan bahwa aqidah wajibnya taat kepada penguasa ini merupakan aqidah dari seluruh ulama ahlussunnah di berbagai negeri. Dan penyebutan negeri-negeri pada ucapan di atas tidak menunjukkan pembatasan, akan tetapi memang demikianlah akidah para ulama ahlussunnah di berbagai negeri pada setiap zaman.
Imam Ath-Thahawi berkata dalam kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiah, “Kami memandang bahwa menaati penguasa yang merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Azz wa Jalla adalah suatu kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kami mendoakan mereka agar mendapatkan kesalehan dan kebaikan.”
Al-Barbahari rahimahullah berkata dalam Syarh As-Sunnah, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dalam perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Barangsiapa yang memegang tampuk khilafah dimana seluruh manusia sepakat menerimanya dan meridhainya, maka dia dinamakan amirul mukminin. Tidak halal bagi siapapun untuk tinggal satu malam dalam keadaan dia meyakini bahwa dirinya tidak memiliki pemimpin, baik pemimpin itu adalah orang yang saleh maupun orang yang jahat.”
Mufaffaquddin Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Lum’ah Al-I’tiqad, “Termasuk sunnah (tuntunan Islam) adalah mendengar dan taat kepada para penguasa dan pimpinan (amir) kaum muslimin, baik penguasa yang saleh maupun yang jahat. Selama dia tidak memerintahkan kemaksiatan, karena tidak ada ketaatan kepada seorangpun dalam bermaksiat kepada Allah.”
Imam Al-Lalaka`i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah menyebutkan aqidah beberapa orang imam ahlissunnah dalam permasalahan ini di antaranya:
1.    Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah.
Beliau berkata, “Wajib untuk bersabar di bawah kepemimpinan penguasa, baik dia berbuat baik maupun berbuat jahat.
2.    Ali bin Abdillah Al-Madini rahimahullah
Beliau berkata, “Tidak halal bagi seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tinggal semalampun kecuali dalam keadaan dia mempunyai pimpinan, baik pimpinan itu saleh maupun jahat
3.    Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari rahimahullah
Beliau berkata, “Saya telah berjumpa dengan 1000 orang lebih ulama, di Hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam, dan Mesir. Saya berjumpa dengan mereka berulang-ulang kali dari generasi ke generasi, dari generasi ke generasi.” Kemudian beliau menyebutkan sebagian kecil dari nama-nama para ulama tersebut, lalu kembali berkata. “Maka saya tidak pernah melihat seorangpun di antara mereka yang berbeda pendapat dalam masalah-masalah berikut: … Dan kami tidak akan mengganggu penguasa pada urusannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Ada 3 perkara yang hati seorang muslim tidak akan dengki terhadapnya: Mengikhlaskan amalan untuk Allah, menaati penguasa, dan komitmen dengan al-jamaah, karena doa kepada penguasa akan mengenai juga rakyatnya.”
4.    Abdurrahman bin Abu Hatim Muhammad bin Idris.
Beliau berkata, “Kami mendengar dan taat kepada kepada orang yang Allah Azza wa Jalla serahkan urusan kami kepadanya.”
5.    Sahl bin Abdillah At-Tasturi.
Beliau pernah ditanya, “Kapan seseorang mengetahui kalau dirinya berada di atas sunnah? Beliau menjawab, “Jika dia mengetahui kalau dalam dirinya adal 10 perkara.” Di antara yang beliau sebutkan adalah, “Tidak meninggalkan shalat berjamaah di belakang setiap penguasa, penguasa yang curang maupun yang adil.
Maka semua dalil-dalil di atas ditambah dengan kesepakatan para ulama salaf di berbagai zaman dan tempat, menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah bukanlah masalah kecil atau masalah sampingan dalam agama. Bahkan dia merupakan salah satu tonggak tegaknya agama, karena tanpa adanya ketaatan kepada penguasa maka yang ada adalah kerusakan dimana-mana, dan keadaan yang kacau jelas mempengaruhi keberagamaan setiap orang.
Karenanya, kebiasaan untuk tidak taat kepada penguasa bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Bahkan kebiasaan ini merupakan kebiasaan orang-orang musyrikin jahiliah sebelum terutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata dalam Masa`il Al-Jahiliah, “Perilaku jahiliah yang ketiga: Mereka menganggap bahwa menyelisihi penguasa dan tidak taat kepadanya adalah suatu keutamaan, sementara mendengar dan taat kepadnya adalah kerendahan dan kehinaan. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyelisihi mereka, dan beliau memerintahkan untuk mendengar dan taat kepadanya serta menasehatinya. Beliau sangat tegas memerintahkan hal tersebut, betul-betul menjelaskannya secara gamblang, dan beliau selalu mengulang-ulanginya.”
Walaupun demikian keadaannya, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya memberikan pembatasan dalam menaati pemerintah sebagaimana diberikannya pembatasan dalam menaati ulama. Karena seluruh manusia sepandai dan sekuat apapun dia pasti akan memerintahkan kesalahan, kecuali para nabi dan rasul. Karenanya dalil-dalil di atas, selain memerintahkan untuk taat kepada penguasa, dalil tersebut juga menegaskan bahwa ketaatan kepada mereka hanya terbatas jika mereka tidak memerintahkan kemaksiatan.
Imam Ibnu Abdil Izz dalam Syarh Ath-Thahawiah hal. 381 berkata menjelaskan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, “Kenapa Allah berfirman, “Dan taatilah,” tapi tidak berfirman, “Dan taatilah ulil amri di antara kalian?” Hal itu karena pemerintah tidak berdiri sendiri dalam hal ditaati, akan tetapi mereka hanya ditaati pada perkara yang merupakan ketaatan kepada Alah dan Rasul-Nya. Allah mengulangi perintah (taatilah) pada Ar-Rasul karena siapa saja yang menaati Ar-Rasul maka sungguh dia telah taat kepada Allah, dan karena Ar-Rasul tidaklah pernah memerintahkan ketidaktaatan kepada Allah, bahkan beliau ma’shum dalam hal itu. Adapun pemerintah, maka terkadang dia memerintahkan ketidaktaatan kepada Allah. Karenanya dia tidak ditaati kecuali jika perintahnya merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Adapun hadits Ibnu Umar di atas maka sangat tegas menunjukkan apa yang kita sebutkan di atas. Hanya saja di sini ada satu catatan penting yang harus digarisbawahi, yaitu: Bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” TIDAKLAH menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah akan gugur selama-lamanya kapan sekali saja mereka memerintahkan kemaksiatan, tidak sama sekali. Karena hal itu akan bertentangan dengan dalil-dalil lain yang memerintahkan untuk selalu taat kepada pemerintah selama perintahnya bukan kemaksiatan. Akan tetapi yang dimaksud dalam hadits itu adalah bahwa kapan pemerintah memerintahkan kemaksiatan maka tidak boleh ditaati, akan tetapi jika setelah itu dia kembali memerintahkan kebaikan, maka kita kembali wajib untuk menaatinya.
Bagaimana dengan perintah penguasa yang sifatnya bukan ketaatan dan bukan pula maksiat? Misalnya peraturan atau keputusan pemerintah yang dibuat dalam masalah duniawiah.
Berdasarkan semua dalil di atas maka kita tetap wajib menaatinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengecualikan satu keadaan untuk kita boleh tidak taat kepada mereka, yaitu jika perintah mereka adalah kemaksiatan. Artinya, perintah penguasa selain dari kemasiatan tetap wajib untuk kita dengarkan, terlebih lagi jika perintah atau keputusan itu dibuat untuk kemaslahatan kaum muslimin itu sendiri. Wallahu a’lam
Kapan Kita Memberontak?
Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu dia berkata:
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Di antara janji yang beliau ambil dari kami adalah: Agar kami berbaiat kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat (kepada penguasa), baik perintahnya kami senangi maupun ketika perintahnya kami benci (menzhalimi), dan baik ketika kami kesulitan maupun ketika kami dalam keadaan lapang, dan agar kami lebih mementingkan mereka dalam urusan dunia, dan agar kami tidak mengganggu urusan penguasa.” Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah tentang kekafiran tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6532 dan Muslim no.1709)
Dari Auf bin Malik radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang mereka membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bolehkan kami memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Tidak, selagi mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas diri dari ketaatan kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1855)
Dari Ummu Salamah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, kalian mengenal mereka namun kalian mengingkari (perbuatan mereka). Maka siapa yang tahu (kemungkarannya) maka hendaklah berlepas diri, dan barangsiapa yang mengingkari maka dia telah selamat. Akan tetapi (yang berdosa adalah) siapa yang ridha dan mengikuti.” Para sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Tidak! Selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim no. 1854)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa yang tidak menyukai kebijakan amir (pemimpinnya) maka hendaklah bersabar, sebab siapapun yang keluar dari ketaatan kepada amir walaupun sejengkal, maka dia mati seperti matinya orang jahiliah.” (HR. Al-Bukhari no. 7143 dan Muslim no. 1849)
Penjelasan ringkas:
Setelah pada postingan yang telah lalu kami membawakan dalil-dalil akan wajibnya mendengar dan taat kepada penguasa, maka pada postingan kali ini kita akan berbicara mengenai hukum seputar khuruj (keluar dari ketaatan) atas pemerintah yang zhalim. Adapun pemerintah yang adil maka tidak perlu dibicarakan, karena saya kira semua sekte dalam Islam telah bersepakat akan wajibnya taat kepada pemerintah yang adil, walaupun syarat-syarat pemerintah yang adil berbeda-beda di antara mereka. Di antara mereka meyakini pemerintah nanti dikatakan adil jika dia berasal dari pihak kami atau mewakili aspirasi kami, ada yang meyakini bahwa pemerintah yang adil adalah jika dia berasal dari ahlul bait, ada yang meyakini bahwa selama tidak ada khilafah Islamiah di muka bumi ini maka tidak akan ada pemerintahan yang adil. Syarat-syarat adil menurut mereka ini tentu saja salah besar, karena keadilan yang sebenarnya adalah apa yang Allah dan Rasul-Nya katakan sebagai keadilan. Sementara tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa apa yang mereka yakini itu merupakan keadilan. Ala kulli hal, khuruj atas pemerintah yang zhalim adalah hal yang diharamkan dalam Islam berdasarkan dalil-dalil di atas dan selainnya yang sangat banyak.
Adapun hikmah diharamkannya khuruj atas penguasa adalah:
1.    Khuruj atas mereka mengharuskan lahirnya kekacauan, perpecahan, dan perselisihan yang akan merusak keamanan dalam negeri, merusakan perekonomianm rakyat, dan sangat mengganggu jalannya aktifitas keseharian dari kaum muslimin.
2.    Khuruj atas mereka juga mengharuskan melemahnya persatuan dan kesatuan yang mengantarkan kepada melemahnya kekuatan negara. Hal ini tentu akan dimanfaatkan oleh musuh dari luar negeri untuk menyerang negeri kaum muslimin.
3.    Menjaga darah kaum muslimin, karena kalau mereka melawan maka tentunya akan timbul banyak korban dari rakyat sipil yang tidak berdosa.
4.    Mencegah timbulnya perang saudara sesama muslim. Karena rakyat yang memberontak adalah muslim, sementara pelindung penguasa dalam hal ini polisi atau tentara juga adalah kaum muslimin.
5.    Tidaklah Allah menguasakan pemerintah yang zhalim kepada suatu kaum kecuali kaum itu sendiri juga adalah kaum yang zhalim. Allah berfirman yang artinya, “Demikianlah kami menjadikan sebagian orang zhalim menguasai orang zhalim lainnya akibat dosa yang mereka perbuat.” (QS. Al-An’am: 129)
Karenanya, satu-satunya cara untuk lepas dari pemerintah yang zhalim adalah dengan cara bersabar agar dosa-dosa kita diampuni oleh Allah. Dan kapan dosa-dosa kita telah diampuni oleh Allah dan kita sudah tidak tergolong ke dalam golongan orang-orang yang zhalim, maka barulah Allah akan menguasakan atas kita seorang pemimpin yang adil pula.
Bagaimana saja bentuk khuruj atas pemerintah?
Secara umum ada 3 bentuk yang tentu saja semuanya diharamkan dalam Islam:
1.    Khuruj dengan hati.
Yakni dengan meyakini bolehnya khuruj atas penguasa yang zhalim, atau meyakini bahwa pemerintahan yang ada sekarang bukanlah pemerintah yang syah.
2.    Khuruj dengan lisan/lidah.
Yakni dengan cara mengumbar kejelekan dan aib penguasa di depan umum, baik secara langsung maupun melalui media elektronik dan media massa, baik dengan berorasi maupun saat obrolan biasa, baik lewat demon crazy (baca: demonstrasi) maupun lewat kajian-kajian agama.
3.    Khuruj dengan perbuatan atau kekuatan
Yakni dengan cara merebut kepemimpinan penguasa sebelumnya dengan cara kudeta atau pemberontakan. Termasuk juga di dalamnya merebut kekuasaan dengan menggunakan paksaan massa yang kita kenal dengan istilah Pilpres.
Dan butuh dicamkan bahwa siapa saja yang mati dalam keadaan melakukan salah satu dari ketiga jenis khuruj ini maka matinya seperti matinya orang-orang jahiliah. Yakni karena orang-orang jahiliah meyakini tidak wajibnya taat kepada penguasa sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Masa`il Al-Jahiliah masalah yang ketiga.
Kalau memilih presiden dengan pilpres termasuk kudeta, trus bagaimana cara memilih pimpinan yang benar dalam syariat Islam?
Ada 2 cara pemilihan pimpinan yang syar’i:
1.    Ditunjuk langsung oleh pemerintah sebelumnya sebelum dia meninggal. Ini sebagaimana yang terjadi pada Umar bin Al-Khaththab yang ditunjuk langsung oleh Abu Bakar.
2.    Dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, yaitu sekumpulan ulama dan tokoh/orang-orang tua yang berpengalaman dalam kepemimpinan. Ini berbeda dengan DPR/MPR karena di dalamnya bukanlah ulama dan tidak semua mempunyai pengalaman dalam kepemimpinan. Contoh cara ini adalah terpilihnya Utsman bin Affan dari 6 orang sahabat yang ditunjuk oleh Umar sebelum beliau meninggal. Dan juga terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah oleh sebagian kecil sahabat yang mereka ini adalah ahlul halli wal aqdi.
Kalau memang pilpres adalah kudeta, kenapa ahlussunnah menerima hasilnya?
Kami menerima hasilnya karena memang dia syah sebagai pemimpin. Imam Ahmad rahimahullah berkata dalam Ushul As-Sunnah, “Siapa saja yang khuruj atas seorang penguasa dari para penguasa kaum muslimin -padahal manusia (kaum muslimin) telah sepakat memilihnya dan mengakui kekuasaannya, bagaimanapun caranya dia menjadi pimpinan, dengan cara ridha maupun dengan kekuatan (dominasi)- maka orang yang khuruj ini telah memecahkan tongkat persatuan kaum muslimin.” Semisal dengannya dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Lum’ah Al-I’tiqad. Maka ini menunjukkan bahwa para ulama ahlussunnah menganggap penguasa yang berkuasa lewat kudeta adalah penguasa yang syah. Dan ini pula yang menjadi keyakinan dan amalan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bagaimana ketika Muawiah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma mengkudeta Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dan juga Hajjaj bin Yusuf mengkudeta Abdullah bin Az-Zubair. Dan para sahabat yang masih hidup ketika itu semuanya menerima kepemimpinan Muawiah dan Hajjaj, walaupun tentunya mereka tetap meyakini bahwa keduanya telah melakukan kesalahan dengan melakukan khuruj atas pemerintah sebelumnya.
Kalau begitu, apakah kudeta sama sekali tidak ada di dalam ajaran Islam?
Tentu saja ada, berdasarkan hadits Ubadah, Auf bin Malik, dan Ummu Salamah di atas. Karena, Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang sahabat untuk mengkudeta penguasa selama penguasanya masih muslim yang tercermin dengan dia masih mengerjakan shalat. Maka dari sini ada isyarat bahwa kapan penguasanya bukan seorang muslim yang di antara tandanya adalah dia tidak mengerjakan shalat maka BOLEH (bukan wajib dan bukan pula sunnah) ketika itu untuk melakukan kudeta.
Jadi, syarat bolehnya kudeta hanya satu, yaitu jika penguasanya kafir?
Bukan hanya satu tapi ada 4 syarat yang lainnya, yang kapan salah satunya tidak terpenuhi maka haram melakukan kudeta. Selengkapnya, kelima syarat itu adalah:
1.    Nampak kekafiran yang jelas padanya, sebagaimana dalam hadits Ubadah di atas. Jadi tidak cukup jika kekafirannya belum jelas atau masih samar-samar apalagi sekedar main kafirkan seenaknya.
2.    Punya kecukupan dan kemampuan sendiri baik dari sisi personil maupun persenjataan sehingga dia tidak butuh bantuan kepada orang luar. Karena dikhawatirkan jika ada pihak luar yang membantu, justru pihak luar itu yang akan memanfaatkan mereka untuk merebut kekuasaan negara mereka sendiri.
3.    Mafsadat yang lahir dari kudeta lebih kecil daripada mafsadat yang lahir jika mereka tidak kudeta. Kapan mafsadatnya lebih lebih besar maka tidak boleh kudeta, misalnya jika pertempuran nantinya hanya akan terjadi di antara sesama kaum muslimin.
4.    Yakin atau dugaan besar bisa menang. Kapan tidak ada kepastian maka tidak boleh kudeta karena hanya akan melahirkan banyak korban sementara maslahat yang ingin diraih tidak bisa dicapai.
5.    Sudah ada calon pengganti sebelum terjadinya kudeta. Yakni sebelum melakukan kudeta, kaum muslimin sudah harus bersepakat menunjuk satu orang sebagai pemimpin kelak jika mereka sudah berhasil. Kapan calon pengganti belum ditunjuk atau belum disepakati maka tidak boleh melakukan kudeta. Karena kapan kudeta berhasil sementara tidak ada calon yang disepakati maka dikhawatirkan akan timbul perang saudara karena memperebutkan kekuasaan. Wallahu a’lam bishshawab
Artikel: http://al-atsariyyah.com/

Kamis, 05 April 2012

Merenungi Kehidupan setelah Kematian


 
kuburanSetiap jiwa pasti akan menemui ajalnya. Tiada setiap jiwa pun yang kekal abadi hidup di dunia. Bila ajal telah tiba tak ada yang bisa menghindar dan lari darinya. Bukan berarti telah berakhir sampai disini. Tetapi telah berpindah ke alam berikutnya, yaitu alam kubur atau alam barzakh, yang termasuk bagian dari beriman kepada hari akhir.

Setiap yang telah memasuki alam kubur maka akan mengalami fitnah kubur. Yaitu ujian berupa pertanyaan dua malaikat kepada si mayit, tentang Rabbnya, agamanya dan Nabinya. Dari ujian ini akan diketahui apakah dia termasuk hamba-Nya yang jujur keimanannya sehingga berhak mendapatkan nikmat kubur, atau apakah dia termasuk yang dusta keimanannya sehingga berhak mendapakan adzab kubur.

Ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib setiap mu’min untuk meyakini kebenaran adanya fitnah kubur, nikmat kubur dan adzab kubur. Termasuk konsekuensi dari beriman kepada Allah  'azzawajalla dan Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam adalah meyakini kebenaran apa yang dikhabarkan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah tentang kejadian-kejadian di alam ghaib. Di awal-awal ayat Al Qur’an Allah 'azza wajalla mengkhabarkan ciri orang-orang yang mendapatkan hidayah dan keberuntungan di dunia dan di akhirat, diantaranya adalah orang yang beriman tentang perkara ghaib. Allah 'azza wajalla berfirman (artinya):
“Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, menunaikan shalat dan menginfaqkan sebagian yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka pula beriman kepada apa yang diturunkan kepada mereka (Al Qur’an) dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang mendapat petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
” (Al Baqarah: 3-5)

Dalil – Dalil Tentang Fitnah Kubur

Dalil-dalil yang menunjukan adanya fitnah kubur, diantaranya;
Dalam Al Qur’an firman Allah 'azza wajalla :

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan dengan al qauluts tsabit kepada orang-orang yang beriman dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
” (Ibrahim: 27)

Di dalam ayat di atas menetapkan akan adanya fitnah kubur. Karena Allah 'azza wajalla memberikan kemulian kepada orang-orang yang benar-benar beriman dengan diteguhkannya al qaulul tsabit. Yaitu keteguhan iman si mayit di alam kubur ketika ditanya oleh dua malaikat. Sebagaimana hadits dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib ? bahwa Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam bersabda:

إِذَا أُقْعِِدَ الْمُؤْمِنُ فِي قَبْرِهِ أُتِيَ ثُمَّ شَهِدَ أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ فَذَالِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ

“Jika seorang mu’min telah didudukkan di dalam kuburnya kemudian didatangi (dua malaikat dan bertanya kepadanya) maka dia akan (menjawab) dengan mengucapkan dua kalimat syahadat:


أَشَهِدَ أَنْ لاَ إِله إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

itulah al qauluts tsabit sebagaimana yang tertera dalam firman Allah 'azza wajalla di atas.” (H.R. Al Bukhari no. 1379 dan Muslim no. 2871) Baca artikel selengkapnya...

Ayat di atas juga sebagai dalil bahwa peristiwa fitnah kubur ini merupakan bagian dari hari akhir. Karena Allah 'azza wajalla menyebutkan peristiwa fitnah kubur ini dengan lafadz “wafil akhirah” yaitu di hari akhir.

Demikian pula dari As Sunnah, dari shahabat Al Barra’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Abu Dawud 2/281, Ahmad 4/287 dan selain keduanya, bahwa Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam mengisahkan peristiwa fitnah kubur yang akan dialami oleh orang mu’min dan orang kafir. Keadaan orang mu’min ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia akan dikokohkan jawabannya oleh Allah 'azza wajalla . Siapakah Rabb-mu? Dia akan bisa menjawab: Rabb-ku adalah Allah. Apa agamamu? Dia akan bisa menjawab: Agamaku adalah Islam. Siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu? Dia pun bisa menjawab: Dia adalah Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam (Demikianlah Allah 'azza wajalla pasti memenuhi janji-Nya sebagaimana dalam Q.S. Ibrahim: 27 di atas). Sebaliknya keadaan orang kafir ketika ditanya oleh dua malaikat, maka dia tidak akan bisa menjawab. Siapakah Rabb-mu? Dia akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu. Apa agamamu? Dia akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu. Lalu siapakah laki-laki ini yang diutus kepadamu? Dia pun akan menjawab: Hah, hah, saya tidak tahu.

Demikian pula hadits dari Ummul Mu’minin Aisyah, bahwa Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam bersabda:

فَأُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُوْنَ فِي قُبُورِكُمْ مِثْلُ أَوْ قَرِيْبٌ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

“Telah diwahyukan kepadaku sungguh akan ditimpakan fitnah kepada kalian di dalam kubur-kubur kalian seperti atau hampir mirip dengan fitnah Al Masih Ad Dajjal.”
(H.R. Al Bukhari no. 87 dan Muslim no. 905)
Padahal fitnah Al Masih Ad Dajjal merupakan fitnah terbesar dari fitnah-fitnah yang terjadi sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat nanti. Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam bersabda:

مَا بَيْنَ خَلْقِ آدَمَ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ أَمْرٌ أكْبَرُ مِنَ الدَّجَّالِ

“Tidak ada fitnah yang paling besar sejak diciptakan Adam sampai hari kiamat dibanding dengan fitnah Dajjal.”
(Muslim no. 2946)

Sehingga fitnah kubur itu pun amat ngeri seperti atau hampir mirip dengan fitnah Dajjal, kecuali bagi orang-orang yang jujur keimanannya. Oleh karena itu bila si mayit telah dikuburkan maka dianjurkan bagi kita untuk mendo’akannya. Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam bersabda:

اسْتَغْفِرُوا لأَخِيْكُمْ وَاسْأَلُوا لَهُ التَثْبِيْتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْئَلُ

“Mohonkan ampunan untuk saudaramu, dan mohonkan untuknya keteguhan (iman), karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.”
(Shahihul Jami’ no. 476)

Adapun nama dua malaikat tersebut adalah malaikat Munkar dan Nakir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi no. 1071, Ibnu Hibban no. 780 dan selain keduanya dari shahabat Abu Hurairah ?. Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1391.

Dalil – Dalil Adzab Kubur Dan Nikmat Kubur

Setelah mengalami proses fitnah kubur, maka akan mengalami proses berikutnya, yaitu proses nikmat kubur dan adzab kubur. Bila dia selamat dalam fitnah kubur maka dia akan mendapatkan nikmat kubur dan sebaliknya bila ia tidak selamat dalam fitnah tersebut maka dia akan mendapatkan adzab kubur.
Para pembaca, proses ini pun merupakan perkara ghaib yang harus diyakini kebenarannya. Karena Allah 'azza wajalla dan Rasul-Nya telah mengkhabarkan peristiwa ini di dalam Al Qur’anul Karim dan As Sunnah An Nabawiyyah.

Di antara dalil dalam Al Qur’an yaitu firman Allah 'azza wajalla (artinya): “…, Alangkahnya dahsyatnya sekiranya kamu melihat diwaktu orang zhalim (kafir) berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut sedang para malaikat memukul dengan tangan mereka, sambil berkata: ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Pada hari ini (sekarang ini, sejak sakaratul maut) kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan. Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah dengan perkataan yang tidak benar dan selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An’am: 93)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam kitab tafsirnya Taisirul Karimir Rahman: “Ayat ini sebagai dalil tentang adanya adzab di alam barzakh dan kenikmatan di dalamnya. Dan adzab yang diarahkan kepada mereka dalam konteks ayat ini terjadi sejak sakaratul maut, menjelang mati dan sesudah mati.”

Dalam Q.S. Ghafir ayat ke 46 Allah 'azza wajalla berfirman (artinya): “ (Salah satu bentuk azdab di alam barzakh nanti) Neraka akan ditampakkan di waktu pagi dan petang kepada Fir’aun dan para pengikutnya. Kemudian pada hari kiamat (dikatakan kepada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
Berkata Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i: “Ayat di atas merupakan landasan utama yang dijadikan dalil bagi aqidah Ahlus Sunnah tentang adanya adzab di alam kubur.” (Lihat Al Mishbahul Munir)

Adapun dalil dari As Sunnah, diantaranya; hadits dari Al Barra’ bin ‘Azib radiallahu'anhu, bahwa Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam bersabda:

اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur (diulangi sampai 2/3 kali).”
Kemudian Rasululah shalallohu'alaihiwasallam berdo’a:

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab kubur (sampai 3 kali).”

Kemudian Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam menggambarkan keadaan orang mu’min dengan dibentangkan tikar dari al jannah, dikenakan pakaian dari al jannah dan dibukakan pintu baginya ke arah al jannah yang mendatangkan aroma harum, serta diperluas tempatnya di alam kubur seluas mata memandang. Sebaliknya keadaan orang kafir, maka dibentangkan baginya tikar dari neraka, dibukakan pintu yang mengarah ke neraka yang mendatangkan panas dan aroma busuk, serta disempitkan tempatnya di alam kubur sampai tulang belulangnya saling merangsek. (H.R. Abu Dawud 2/281 dan lainnya)

Dalam riwayat Al Imam Ahmad 6/81 Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam bersabda:

اسْتَعِيْذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَإِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ

“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur, karena sesungguhnya adzab kubur itu adalah benar adanya.”
Dalam hadits Ibnu Abbas Radiallohu'anhu, bahwa Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam pernah melewati dua kuburan. Kemudian beliau bersabda:

أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ

“Kedua penghuni ini sungguh sedang mendapat adzab. Dan tidaklah keduanya diadzab karena melakukan dosa besar. Adapun salah satunya karena berbuat namimah (adu domba) dan yang kedua karena tidak membersihkan air kecingnya.” (H.R. Muslim no. 292)
Demikian pula do’a yang ditekankan oleh Rasulullah shalallohu'alaihiwasallam sebelum salam ketika shalat:

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari adzab jahannam, dari adzab kubur, dan dari fitnah selama hidup dan sesudah mati, serta dari fitnah Al Masih Ad Dajjal.”
(H.R. Muslim dan selainnya, lihat Al Irwa’ no. 350)

Apakah adzab kubur dan nikmat kubur itu terus menerus? Adapun adzab kubur bagi orang kafir adalah terus menerus sampai datangnya hari kiamat. Sedangkan bagi orang mu’min yang bermaksiat, bila Allah 'azza wajalla telah memutuskannya untuk mengadzabnya maka tergantung dengan dosa-dosanya. Mungkin dia diadzab terus menerus dan juga mungkin tidak terus menerus, mungkin lama dan mungkin juga tidak lama, tergantung dengan rahmat dan ampunan dari Allah 'azza wajalla . Mungkin pula orang mu’min yang bermaksiat tadi diputuskan tidak mendapat adzab sama sekali dengan rahmat dan maghfirah Allah 'azza wajalla . Semoga kita diselamatkan oleh Allah 'azza wajalla dalam fitnah kubur dan dari adzab kubur.

Para pembaca, semua peristiwa yang terjadi di alam kubur itu merupakan perkara ghaib yang tidak bisa dinilai kebenarannya dengan logika, analisa dan eksperimen. Bahkan semua peristiwa di alam kubur itu amatlah mudah bagi Allah 'azza wajalla . Karena Allah 'azza wajalla memilki nama Al Qadir Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sehingga peristiwa di alam kubur harus dinilai dan ditimbang dengan nilai dan timbangan iman. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Karena ini adalah perkara yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Sehingga bila ada manusia yang mati tenggelam dilaut yang badannya hancur dimakan ikan laut, atau manusia yang mati terbakar sampai menjadi abu sangatlah mudah bagi Allah 'azza wajalla untuk mengembalikannya.

Marilah kita perhatikan firman Allah 'azza wajalla (artinya): “Dan kami (malaikat) lebih dekat kepadanya (nyawa) dari pada kalian. Tetapi kalian tidak bisa melihat kami.” (Al Waqi’ah: 85)

Ketika malaikat hendak mencabut nyawa seseorang, sesungguhnya malaikat tersebut ada disebelahnya tetapi ia tidak bisa dilihat oleh mata kepalanya. Demikianlah kekuasaan dan kagungan Allah 'azza wajalla yang tidak tidak bisa diukur dengan logika manusia.

DAHSYATNYA SAKARATUL MAUT



thunderAllah subhanahu wata’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar para hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezhaliman bersegera meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah subhanahu wata’ala.

Sementara hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.

Namun, berbagai peringatan dan pelajaran, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.

Allah subhanahu wata’ala berfiman (yang artinya):

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ


“Tidaklah berita itu seperti melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umarradhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah no. 135)

Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan, dengan sebab yang Allah subhanahu wata’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali para hamba-Nya yang Allah subhanahu wata’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ


“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)

Allah subhanahu wata’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya (yang artinya):

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah )? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan.’ Hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya.

‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang ia rasakan karena sakaratul maut itu.

‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka (para malaikat).’ Maka Allah subhanahu wata’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, mengapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)

Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, ia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim)

Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.

Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ


“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398 (2/64), dan Ibnu Majah no. 4023, dan yang selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

فَلاَ أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ ِلأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR. Al-Bukhari no. 4446)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan bahwa bila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul ‘alaihimussalam, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)

Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian, serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:

1. Agar manusia mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan ia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, ia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut -padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya- hal itu akan menunjukkan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi -selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad-, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ


“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1668)

Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah melanjutkan:

2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wata’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah subhanahu wata’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ

“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”

Maka jawabannya adalah:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً فِي الدُّنْيَا اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ


“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143)

Maka Allah subhanahu wata’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allahsubhanahu wata’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh


Allah subhanahu wata’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)

Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari hafizahullah berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah subhanahu wata’ala beri tugas untuk mencabut arwah para hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah subhanahu wata’ala, juga tidak ada di dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu’.” (As-Sajdah: 11)

Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):

“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)

Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah subhanahu wata’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)

Wallahu a’lam bish showab.

Sumber: http://asysyariah.com/