Pemikiran Khawarij
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمْ رَجُلاً قَرَأَ الْقُرْآنَ حَتَّى إِذَا رُئِيَتْ بَهْجَتُهُ
عَلَيْهِ وَكَانَ رِدْءًا لِلْإِسْلاَمِ انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ
وَرَاءَ ظَهْرِهِ وَسَعَى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ
، قَالَ : قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ ، أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ
الْمَرْمِيُّ أَوِ الرَّامِي ، قَالَ : بَلِ الرَّامِي
“Sesungguhnya yang paling aku
takutkan atas kamu adalah seseorang yang membaca Alquran, sehingga
apabila telah diperlihatkan kepadanya keindahannya dan tadinya ia adalah
pembela Islam, tiba-tiba ia lepas dari Islam dan melemparkan (Alquran)
ke belakangnya, dan mendatangi tetangganya dengan membawa pedang dan
menuduhnya dengan kesyirikan.” Aku berkata (periwayat hadis ed.), “Wahai Nabi Allah, siapakah yang lebih layak kepada kesyirikan, yang dituduh atau yang menuduh?” Beliau menjawab, “Yang menuduh (lebih layak).” (HR. Al Bazzar)[1]
Hadis ini memberitakan kepada kita
tentang adanya orang-orang yang banyak hafal Alquran namun menuduh
saudaranya dengan kekafiran, bahkan mengafirkan saudaranya karena
dosa-dosa yang ia anggap mengeluarkan pelakunya dari Islam, kemudian
menghalalkan darahnya.
Dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa mereka membaca Alquran namun tidak sampai ke kerongkongannya, beliau bersabda,
يَخْرُجُ مِنْهُ قَوْمٌ
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ
الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Akan keluar darinya (Iraq) suatu
kaum yang membaca Alquran namun tidak sampai ke tenggorokannya, mereka
lepas dari Islam seperti melesatnya panah dari buruannya.” (HR. Bukhari)
Dan yang dimaksud dengan “tidak sampai ke tenggorokannya”
adalah memahaminya dengan pemahaman yang tidak benar. Ia mengira bahwa
itu adalah dalil yang menguatkan alasannya, namun sebenarnya tidak
demikian, saking dangkalnya pemahaman mereka, sebagaimana yang
ditunjukkan dalam riwayat lain,
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَتْ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ
شَيْئًا وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صِيَامُكُمْ
إِلَى صِيَامِهِمْ شَيْئًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ
لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Akan keluar suatu kaum dari
umatku, mereka membaca Alquran, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan
mereka tidak ada apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu
dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka tidak ada apa-apanya. Mereka
membaca Alquran dan mengiranya sebagai pembela mereka, padahal ia
adalah hujjah yang menghancurkan alasan mereka. Shalat mereka tidak
sampai ke tenggorokan, mereka lepas dari Islam sebagaimana melesatnya
anak panah dari buruannya.” (HR. Abu Dawud)
Bahkan merekapun membawakan hadis-hadis Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, namun dipahami dengan pemahaman yang tidak benar, sabda Nabi,
يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ
قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ يَقُولُونَ مِنْ
خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ
السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ
“Akan ada di akhir zaman suatu kaum
yang usianya muda, dan pemahamannya dangkal, mereka mengucapkan
perkataan manusia yang paling baik (Rasulullah), mereka lepas dari Islam
sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya, iman mereka tidak sampai
ke tenggorokan..” (HR Bukhari)
Pemikiran takfiri (mudah mengkafirkan) adalah pemikiran yang ditakutkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menimpa umatnya, karena ia berakibat yang tidak bagus dan
merugikan Islam dan kaum muslimin bahkan merusak citra Islam dan
mengotori keindahannya. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengecam keras Khawarij dalam hadis-hadisnya, Abu Ghalib berkata,
رَأَى أَبُو أُمَامَةَ
رُءُوسًا مَنْصُوبَةً عَلَى دَرَجِ مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَقَالَ أَبُو
أُمَامَةَ كِلَابُ النَّارِ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ
خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوهُ ثُمَّ قَرَأَ { يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ
وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ
قُلْتُ لِأَبِي أُمَامَةَ
أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لَوْ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا حَتَّى عَدَّ سَبْعًا مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ.
“Abu Umamah melihat kepala-kepala (kaum
Khawarij) yang dipancangkan di jalan Masjid Damaskus, Abu Umamah
berkata, “Anjing-anjing neraka, seburuk-buruknya orang yang terbunuh di
kolong langit, dan sebaik-baiknya yang dibunuh adalah orang yang dibunuh
oleh mereka (Khawarij), kemudian beliau membaca Ayat, “Pada hari wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah lain menjadi hitam..” Sampai akhir ayat.
Aku berkata kepada Abu Umamah, “Engkau mendengarnya dari Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam?”
Beliau menjawab, “Aku mendengarnya sekali, dua kali, tiga kali, empat
kali sampai tujuh kali. Bila aku tidak mendengarnya, aku tidak akan
menyampaikannya kepada kamu.” (HR. At Tirmidzi).
Sifat-Sifat Khawarij
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan sifat-sifat mereka, sebagiannya telah kita sebutkan di atas, diantara sifat mereka adalah:
1. Dangkal Pemahamannya
Telah kita sebutkan di atas, bahwa kaum
Khawarij suka membawa dalil dari Alquran dan hadis, namun dipahami
dengan pemahaman sendiri, tidak sesuai dengan apa yang dipahami oleh
para ulama salafusshalih, walaupun mereka membawakan perkataan
ulama, mereka bawakan yang sesuai dengan keinginan mereka saja, atau
mengeditnya sedemikian rupa agar terlihat cocok dengan selera mereka
sehingga mengelabui orang-orang awam. Tujuan mereka adalah agar
pengafiran mereka kepada kaum muslimin menjadi suatu perkara yang
dianggap pasti dan meyakinkan, padahal ia hanyalah berdasarkan dugaan
dan sangkaan belaka.
Di antara contoh kedangkalan pemahaman
mereka adalah sebuah kisah dialog Ibnu Abbas dengan kaum Khawarij,
dikeluarkan oleh Al Hakim dalam Mustadraknya (2:164 no.2656) dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Muslim, Ibnu Abbas berkata,
Ketika kaum Haruriyah (Khawarij) keluar
dan berkumpul di suatu tempat, jumlah mereka sekitar enam ribu. Aku
mendatangi Ali seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, akhirkanlah
shalat zuhur, barangkali aku dapat berbicara dengan mereka.” Ali
berkata, “Aku mengkhawatirkan keselamatanmu.” Aku berkata, “Tidak perlu
khawatir.” Aku pun pergi menemui mereka dan aku memakai pakaian Yaman
yang paling bagus kemudian aku mengucapkan salam kepada mereka.
Mereka berkata, “Selamat datang wahai
Ibnu Abbas, pakaian apa yang engkau pakai?!! Aku menjawab, “Apa yang
kalian cerca dariku, padahal aku pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai pakaian yang paling bagus, dan telah turun ayat,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakan (Muhammad), siapakah yang
berani mengharamkan perhiasan dari Allah dan rezeki yang baik yang Allah
keluarkan untuk hamba-hambaNya ?” (QS. Al-A’raaf: 32).
Mereka berkata, “Lalu ada apa engkau datang kemari?”
Aku menjawab, “Aku mendatangi kamu dari sisi para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
dari kalangan Muhajirin dan Anshar untuk menyampaikan apa yang mereka
katakan dan apa yang mereka kabarkan, kepada mereka Alquran diturunkan,
dan merekalah yang paling memahaminya, dan tidak ada di antara kalian
yang menjadi shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.“
Sebagian mereka berkata, “Jangan berdialog dengan kaum Quraisy, karena Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS. Az-Zukhruf: 58)[2]
Ibnu Abbas berkata, “Aku belum pernah
melihat suatu kaum yang sangat bersungguh-sungguh beribadah dari mereka,
wajah-wajahnya mereka pucat karena begadang malam (untuk shalat), dan
tangan serta lutut mereka menjadi hitam (kapalan).”
Sebagian mereka berkata, “Demi Allah, kami akan berbicara dengannya dan mendengarkan apa yang ia katakan.”
Ibnu Abbas berkata, “Kabarkan kepadaku, apa alasan kalian memerangi anak paman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (Ali bin Abi Thalib), serta kaum Muhajirin dan Anshar?”
Mereka berkata, “Tiga perkara.”
Ibnu Abbas berkata, “Apa itu?”
Mereka berkata, “Ia telah berhukum kepada manusia dalam urusan Allah[3], padahal Allah berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ
“Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah.” (QS. Al An’am: 57).
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang pertama.”
Mereka berkata, “Ia telah memerangi[4] namun tidak menawan tidak juga mengambil ghanimah
(harta rampasan perang), jika yang ia perangi itu orang-orang kafir,
maka mereka halal ditawan dan dirampas hartanya. Dan jika yang ia
perangi adalah kaum mukminin, maka tidak halal memerangi mereka.”
Ibnu Abbas berkata, “Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”
Mereka berkata, “Ia telah menghapus
nama amirul mukiminin dari dirinya, jika dia bukan amirul mukminin
berarti ia adalah amirul kafirin.”
Ibnu Abbas berkata, “Apa ada alasan lain?”
Mereka berkata, “Cukup itu saja”
Ibnu Abbas berkata, “Bagaimana pendapat kalian, jika aku membacakan kitabullah dan sunah nabi-Nya yang dapat meluruskan pemahaman kalian, apakah kalian ridha?”
Mereka berkata, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan
kalian bahwa Ali berhukum kepada manusia dalam urusan Allah, bukankah
Allah menyuruh mengembalikan kepada hukum manusia dalam seperdelapan
seperempat dirham, tentang masalah kelinci dan hewan buruan lainnya?”
Allah berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ
مِنكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ
يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang
siapa yang membunuhnya diantara kamu secara sengaja, maka dendanya
adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil diantara kamu..” (QS. Al-Maidah: 95).
Maka saya bertanya kepada kalian dengan
nama Allah, apakah hukum manusia untuk kelinci dan binatang buruan
lainnya lebih utama, ataukah hukum manusia untuk menjaga darah dan
perdamaian di antara mereka?”
Dalam ayat lain, Allah menyuruh mengembalikan hukum kepada manusia mengenai pertikaian suami istri, Allah berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ
بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ
أَهْلِهَآإِن يُرِيدَآإِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَآإِنَّ اللهَ
كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan bila kamu mengkhawatirkan
perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (orang yang akan
menghukumi) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
wanita. Jika kedua orang hakam ini bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu.” (QS. An Nisaa: 35)
Allah menjadikan manusia sebagai hukum yang dipercaya. Apakah aku telah selesai menjawab alasan pertama ini?
Mereka berkata, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali memerangi namun tidak menawan dan tidak mengambil ghanimah,
apakah kamu mau menawan ibumu Aisyah kemudian halal disetubuhi
sebagaimana tawanan lainnya?? Jika kamu melakukan itu, maka kamu telah
kafir. Dan jika kamu berkata bahwa Aisyah bukan ibu kita (kaum
muslimin), maka kamu pun telah kafir, jadi kamu berada diantara dua
kesesatan, mana saja yang kamu pilih, maka kamu tetap sesat.”
Maka sebagian mereka melihat kepada sebagian lainnya. Lalu aku berkata, “Apakah aku telah selesai menjawab alasan ini?
Mereka menjawab, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan
kalian bahwa Ali menghapus nama amirul muminin darinya, maka aku akan
bawakan apa yang kalian ridhai. Bukankah kalian telah mendengar bahwa
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada hari perdamaian Hudaibiyah, menulis surat kepada Suhail bin Amru dan Abu Sufyan bin Harb, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tulislah hai Ali, ini adalah isi perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah.”
Namun kaum Musyrikin berkata, “Tidak!
Demi Allah kami tidak meyakinimu sebagai rasulullah, jika kami
meyakinimu sebagai rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu.” Maka
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah,
Engkau yang mengetahui bahwa aku adalah rasul-Mu. Tulislah hai Ali, Ini
adalah isi perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah.”
Demi Allah, bukankah Rasulullah lebih
baik dari Ali ketika menghapus nama rasul darinya?” Ibnu Abbas berkata,
“Maka bertaubatlah sekitar dua ribu orang di antara mereka, dan sisanya
terbunuh di atas kesesatan.”
2. Keras dan Kasar
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyifati kaum Khawarij bahwa mereka adalah kaum yang kasar lagi keras perangainya, beliau bersabda,
سَيَخْرُجُ مِنْ أُمَّتِي
أَقْوَامٌ أَشِدَّاءُ أَحِدَّاءُ ذَلِقَةٌ أَلْسِنَتُهُمْ بِالْقُرْآنِ لَا
يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ أَلَا فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَأَنِيمُوهُمْ
ثُمَّ إِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَأَنِيمُوهُمْ فَالْمَأْجُورُ قَاتِلُهُمْ
“Akan keluar dari umatku beberapa
kaum yang keras lagi kasar, lisan-lisan mereka fasih membaca Alquran,
namun tidak sampai ke tenggorokan mereka.” (HR. Ahmad dan lainnya)[5]
3. Tidak Menghormati Ulama
Pendahulu mereka tidak menghormati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menganggap Rasulullah tidak berbuat adil, Abu Sa’id Al Khudri berkata,
بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ ذَاتَ يَوْمٍ قِسْمًا فَقَالَ ذُو
الْخُوَيْصِرَةِ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ
قَالَ وَيْلَكَ مَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ فَقَالَ عُمَرُ ائْذَنْ
لِي فَلْأَضْرِبْ عُنُقَهُ قَالَ لَا إِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ
أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ
يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمُرُوقِ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
membagi-bagikan harta (dari Yaman), Dzul Khuwaishirah seorang laki-laki
dari bani Tamim berkata, “Wahai Rasulullah berbuat adillah! Beliau
bersabda, “Celaka kamu, siapa yang dapat berbuat adil jika aku tidak berbuat adil.” Umar berkata, “Izinkan saya menebas lehernya.” Beliau bersabda, “Jangan,
sesungguhnya dia akan mempunyai teman-teman yang shalat dan puasa
kalian, sepele dibandingan dengan shalat dan puasa mereka, mereka lepas
dari Islam seperti lepasnya anak panak dari buruannya.” (HR. Bukhari)
Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
wafat, di zaman Ali bin Abi Thalib kaum Khawarij muncul, dan mereka
tidak menghormati para ulama dari kalangan shahabat seperti Ibnu Abbas
dan shahabat-shahabat lainnya. Sebagaimana dalam kisah dialog Ibnu Abbas
dengan Khawarij yang telah disebutkan di atas. Sifat ini kita lihat
tidak jauh berbeda dengan kaum Khawarij di zaman ini yang melecehkan
para ulama besar seperti Syaikh Bin Baz, Syaikh Al Bani, Syaikh
‘Utsaimin dan ulama lainnya, dan meledeknya sebagai ulama penjilat atau
ulama yang tidak paham realita serta ejekan-ejekan lainnya. Allahul musta’an
4. Mudah mengkafirkan pelaku dosa besar terutama negara islam yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
Di zaman Ali bin Abi Thalib dahulu,
mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan kaum muslimin yang tidak
setuju dengan pendapat mereka, dengan alasan bahwa Ali berhukum kepada
manusia, sedangkan hukum itu milik Allah sebagaimana dalam kisah Ibnu
Abbas yang lalu, mereka berdalil dengan ayat,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)
5. Sangat Hebat Dalam Ibadah
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menyifati bahwa mereka adalah kaum yang amat hebat ibadahnya, beliau bersabda,
يَخْرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَّتِي
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَيْسَتْ قِرَاءَتُكُمْ إِلَى قِرَاءَتِهِمْ
شَيْئًا وَلَا صَلَاتُكُمْ إِلَى صَلَاتِهِمْ شَيْئًا وَلَا صِيَامُكُمْ
إِلَى صِيَامِهِمْ شَيْئًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ يَحْسِبُونَ أَنَّهُ
لَهُمْ وَهُوَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ تَرَاقِيَهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Akan keluar suatu kaum dari
umatku, mereka membaca Alquran, bacaan kamu dibandingkan dengan bacaan
mereka tidak ada apa-apanya, demikian pula shalat dan puasa kamu
dibandingkan dengan shalat dan puasa mereka tidak ada apa-apanya. Mereka
mengira bahwa Alquran itu hujjah yang membela mereka, padahal ia adalah
hujah yang menghancurkan alasan mereka. Shalat mereka tidak sampai ke
tenggorokan, mereka lepas dari islam sebagaimana melesatnya anak panah
dari buruannya.” (HR. Abu Dawud)
Oleh karena itu, ini adalah pelajaran
untuk kita agar jangan tertipu dengan hebatnya ibadah seseorang bila
ternyata akidahnya menyimpang dari petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mudah memvonis manusia dengan kekafiran.
Penulis: Ustadz Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com
[1] Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Silsilah Shahihah no 3201.
[2] Lihat bagaimana mereka membawakan ayat tersebut untuk Ibnu Abbas seorang ulama shahabat, betapa dangkalnya pemahaman mereka!!
[3]
Yaitu ketika terjadi perdamaian antara pasukan Ali dan pasukan
Mu’awiyah, dimana Ali mendelegasikan Abu Musa, sedangkan delegasi dari
pihak Mu’awiyah adalah Amru bin Al ‘Ash. Perbuatan ini difahami oleh
kaum Khawarij sama dengan menyerahkan hukum kepada manusia, padahal
hukum itu milik Allah, betapa piciknya mereka. Allahul musta’an. Demikianlah bila hawa nafsu dan kebodohan berbicara, merusak dunia dan agama.
[4]
Maksudnya berperang melawan pasukan Mua’wiyah dalam perang shiffin dan
melawan pasukan Aisyah dalam perang Jamal, dan peperangan mereka karena
ijtihad dan juga perbuatan provokator yang mengadu domba untuk
menghancurkan islam.
[5]
HR. Ahmad dalam musnadnya dari jalan Utsman Asy Syahham haddatsani
Muslim bin Abu Bakrah dari Ayahnya yaitu Abu Bakrah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mengatakan, “Sanad ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar