Senin, 02 April 2012

Biografi Ulama 9 Kitab Hadits

Al-Imam Malik bin Anas

Nama lengkapnya adalam Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab al Muwaththa, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya”.
Hadits hadits yang terdapat dalam al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam al Muwaththa’ Malik.
Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabiut tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.
Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’I, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.
An Nasa’I berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, terpercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”. (Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).
Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.
Ia wafat pada tahun 179 H
Disalin dari Biografi Malik bin Anas ad Dibaj al Madzhab 17:30, Tahdzib at Tahdzib 10/5 karya Ibnu Hajar asqalani via Facebook Biografi Ulama
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Imam Al-Bukhari

http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ_bseJzwX1Nm48lFflgfhUKvtg9P7QuMiDAsVtEUzsla9FhWOGUlsuGXqxNasab dan Kelahiran Beliau
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja’fi Al Bukhari -rahimahullah- . Lahir pada bulan Syawwal tahun 194 H.
Guru-guru Beliau
Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari hadits (ilmu) ke seluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Diantara guru-gurunya adalah : Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsaman Al Muruzi, Abu ‘Ashim Asy Syaibani, Muhammad bin Abdulloh Al Anshori, Muhammad bin Yusuf, Abu Walid Ath Thayalisi, ABdulloh bin Maslamah Al Qa’nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman,Ismail bin abu uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid Al Mukhalid, Ali Ibnu Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan masih banyak lagi -rahimakumullah-
Beliau sering pergi ke baghdad dan mengajarkan hadits disana.
Ibadah dan Muamalah Beliau
Bakar Abu Said berkata,” Ada seseorang yang membawakan barang dagangan kepada Muhammad bin Ismail (Al Bukhori), dan setelah Isya’ berkumpullah beberapa pedagang untuk mengambil dagangan tersebut dengan memberi untuk 5000 dirham. Beliau menyetujui dan berkata kepada merka,” Pulanglah kalian malam ini,” Pagi harinya datang para pedagang lain yang ingin mengambil dagangan tersbut dengan memberikan keuntungan 10000 dirham, namun beliau menolaknya dan berkata,”Saya sudah meniatkan untuk memberikan barang dagangan ini kepada para pedagang yang telah datang tadi malam, dan saya tidak senang membatalkan niat saya.”
Bakar Abu Said juga berkata,” Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa terganggu ketika sedang sholat. Selesai sholat dia berkata kepada para sahabatnya,” Lihatlah ini ! apa yang menggangguku di waktu sedang sholat.!”,Maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengat sebanyak 17 tempat, akan tetapi dia tidak memutuskan sholatnya. Tatkala para sahabatnya menanyakan mengapa tidak memutuskan sholat sejak awal, dia menjawab,” Karena saya sedang sholat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya.” Nasj bin Said berkata,” Ketika awal malam bulan ramadhan, para sahabat Al Bukhori berkumpul bersamanya. Beliau sholat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur’an lebih dari sepertiganya, dan menghatamkannya selama 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pda waktu tersebut beliau tidak menghatamkan, maka beliau sempurnakan/selesaikan pada waktu iftar (bebuka puasa) sambil berdoa.”
Muhammad bin Yusuf berkata,” Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhori di rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu ampai 18 kali, dan pada waktu sahur beliau melakukan sholat lain 13 rakaat dengan witir 1 rakaat.”
Pujian Ulama kepadanya
Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhori berkata,” Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar, ketika keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku,”Darimana kamu wahai pemuda?”, Maka akupun menjawab,” dari penduduk Bukhara.”. Bagaimana kamu justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhori dan tidak belajar kepadanya?,” keluhnya. Maka para Sahabat Muhammad bin Basyar berkata kepadanya,”Semoga engkau merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhori ) itu.” lantas Muhammad bin Basyar memegang tanganku dan memelukku. Kemudian beliau berkata,” Selamat atas kedatangan orang yang besar lagi mulai yang telah kami tunggu sejak dua tahun lalu.”
Muhammad bin Ishaq berkata,” Saya tidak melihat dibawah kolong langit ini yang lebih alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah.”
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Ja’fi berkata,” Muhammad bin Ismail dalah seorang imam. maka barangsiapa yang tidak menjadikannya sebagai imam, maka ia pantas untuk dicurigai.”
Kedalaman Ilmu Haditsnya
Para ulama dari berbagai negeri seperti Bashrah, Syam, Hjaz, dan Kufah menaruh hormat kepada Al bukhori.
Pernah Imam Al Bukhori datang ke baghdad, dan kedatangannya didengar oleh para Ulama Ahlul Hadits, mereka berkumpul dan bersepakat untuk menguji Imam Bukhori dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanad (para periwayat hadits)nya. dan menyerahkan hadits yang sudah dibolak bailk tersebut kepada 10 orang, sehingga setiap orang mendapat jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah ditentukan untuk bermajelis telah tiba, datanglah para Ahli hadits baik dari Maghrib, Khurasan, Baghdad dan tempat lainnya. tatkala suasana majelis sudah nampak tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah dibolak balikkan itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada Imam Al Bukhori tentag hadits tersebut, maka Imam Al Bukhori menjawab,” Aku tidak tahu tentang hadits tersebut.” lalu dibacakanlah lagi hadits berikutnya dan ditanyakan lagi kepadanya. Dia menjawab lagi “Tidak tahu.” demikian sampai 10 hadits. para Ahli hadits yang hadir di majelis saling berpandangan satu sama lain dan berkata,” Jawaban al Bukhori itu menunjukkan dia orang yang lemah dan sedikit hafalan serta pemahamannya.” lalu mulailah orang kedua, ketiga, kempat sampai selesai 10 orang yang membacakan semua hadits yang dibolak balik tadi sehingga mencapai 100 hadits. dan setiap ditanya tentang hadits yang dibacakan kepadanya, Imam bukhori tetap menjawab,” Saya tidak tahu hadits tersebut.” Tidak lebih dari itu. Ketika Imam Bukhori mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut telah selesai, maka beliau menghadap kepada orang orang pertama yang membacakan hadits tadi dan berkata,”Adapun haditsmu yang pertama seperti itu maka yang benar begini, haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah dibolak balik sebagaimana semula. demikianlah yang diperbuat Imam Al Bukhori kepada 10 orang tersebut. Hingga manusia menetapkan kuatnya hafalan Imam Al Bukhori dan keutamaannya.
Majelis Imam Al Bukhori
Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Bagdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberapa kali di baghdad, yang hadir pada setiap majelisnya lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga disampaikan Muhammad bin Yusuf.
Al Bukhori berkunjung ke Bashrah, dan berada di dalam Masjid jami’, tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah, mereka meminta kepadanya untuk membuah sebuah majelis ilmu. maka berkumpullah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits para huffazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluar ungkapan,” Telah hadir pada hari ini Sayyidul fuqoha’ (penghulu para ahli fiqih).
Hikmah
Abu Sa’id Bakar bin Munir berkata bahwa Al Amir (penguasa) Khalid bin AHmad Adz Dzuhli mengirim utusan ke Bukhara kepada Muhammad bin Ismail agar mengajarkan kitab jami’, At tarikh dan seterusnya (secara privat), Maka Muhammad bin Ismail berkata kepada utusan tersebut,”Sesungguhnya kami tidak merendahkan ilmu, dan tidak mengajarkan kerumah-rumah. Jika engkau membutuhkan ilmu tersebut maka datanglah ke masjid saya atau rumah saya, jika tidak, engkau dalah penguasa, mampu melarang saya untuk bermajelis, sehingga saya memiliki udzur di hadapan Alloh Azza wa Jalla pada hari kiamat. Karena saya tidak akan menyembunyikan ilmu, sebab Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lantas dia menyembunyikannya maka dia akan dikekang dengan tali kekang dari neraka.”
Imam Bukhori berkata,”Gerakan, suuara dan tulisan mereka adalah makhluq, adapaun Al Qur’an yang dibaca, yang tetap dalam mushaf yang tertulis dan yang terjaga (dihafal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluq, Alloh Azza wa Jalla berfirman,” Sebenarnya, Al Qur’an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu,” [QS Al Ankabut 49]
Ibrahim bin Muhammad setelah penyelenggaraan jenazah Muhammad bin ismail berkata bahwa Shahibul Qishar kemarin bertanya kepada Muhammad bin Ismail,” Wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Al Qur’an?’ Beliau menjawab,” Al Quran adalah kalamulloh bukan makhluq” Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad ) berkata,” Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur’an ! dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur’an.” Maka beliau menjawab,” Astaghfirrullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakan sebagaiman firman Alloh Azza wa Jalla ,” Demi Thur dan demi kitab yang tertulis.” [QS Ath Thur 1-2]
Wafat beliau
Abdul Wahin bin Adam berkata,” Saya melihat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam didalam mimpi bersama para sahabatnya. beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliaupun menjawab salamnya. Aku bertanya,” Mengapa berhenti disini wahai Rosululloh?.” Beliau menjawab,” Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhori.” , Setelah beberapa hari maka datanglah kabar tentang kematian Imam Al Bukhari, dan tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat saat aku bermimpi bertemu dengan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
Abul Hasan bin Salim berkata,”Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meninggal pada malam sabtu malam idul fitri tahun 256 H.”
Yahya bin Ja’far berkata,” Seandainya saya mampu untuk menambah usia Muhammad bin Ismail Al Bukhori, maka akan saya lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang biasa, namun kematian Al Bukhori adalah hilangnya ilmu.”
Maraji:
- Tarikh Al Baghdad, karya Al Khatib Al baghdadi
- Siyar A’lam An Nubala kaya Imam Adz Dzahabi

Sumber: Facebook Biografi Ulama
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Al-Imam Ahmad bin Hambal

tawasul28.jpg Musnad Ahmad bin Hambal,
Pertumbuhan beliau
Nama: A Ahmad bin Muhamad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasithi bin Marin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah bin Uqbah bin Sha’ab bin Ali bin Bakar bin Wail.
Kuniyah: Abu Abdillah
Nasab beliau: Bapak dan ibu beliau adalah orang arab, keduanya anak Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’labah, seorang arab asli. Bahkan nasab beliau bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Nazar.
Kelahiran beliau:
Imam Ahmad dilahirkan di kota Baghdad. Ada yang berpendapat bahwa di Marwa, kemudian di bawa ke Baghdad ketika beliau masih dalam penyusuan. Hari lahir beliau pada tanggal dua puluh Rabi’ul awwal tahun 164 hijriah.
Ayah Imam Ahmad dan kakeknya meninggal ketika beliau lahir, sehingga semenjak kecil ia hanya mendapatkan pengawasan dan kasih sayang ibunya saja. Jadi, beliau tidak hanya sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah nasab saja, akan tetapi beliau juga sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah yatim.
Meskipun imam Ahmad tidak mewaritsi harta dari ayah dan kakeknya, tetapi beliau telah mewaritsi dari kakeknya kemulian nasab dan kedudukan, sedang dari ayahnya telah mewaritsi kecintaan terhadap jihad dan keberanian. Ayah beliau, Muhammad bin Hambal menemui ajalnya ketika sedang berada di medan jihad, sedang kakeknya, Hambal bin Hilal adalah seorang penguasa daerah Sarkhas, pada saat kekhilafahan Umawiyyah.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Permulaan imam Ahmad dalam rangka menuntut ilmu pada tahun 179 A hijriah, pada saat itu beliau berusia empat belas tahu, beliau menuturkan tentang dirinya; ‘ ketika aku masih anak-anak, aku modar-mandir menghadiri sekolah menulis, kemudian aku bolak-balik datang keperpustakaan A ketika aku berumur empat belas tahun.’
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh semangat yang tinggi dan tidak mudah putus asa.
Keteguhan dalam mencari ilmu telah mengantarkan imam Ahmad menjadi ulama besar dan disegani, baik dari kalangan masyarakat awwam, terpelajar maupun dari kalangan penguasa. Dalam rihlah ilmiyyah yang beliau jalani, ada satu pelajaran yang patut kita conth, setiap kali bekalnya habis, beliau selalu mendermakan dirinya untuk bekerja guna melanjutkan perjalanannya. Ia tidak mau menerima uang ataupun materi lainnya selain dari hasil kerja keras dan hasil keringatnya sendiri.
Rihlah beliau
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan beliau rela tak menikah dalam usia muda. Beliau baru menikah setelah usia 40 tahun. Diantara negri yang beliau kunjungi adalah:
  1. Bashrah; beliau kunjungi pada tahun 186 hijriah, kedua kalinya beliau mengunjungi pada tahun 190 hijriah, yang ketiga beliau kunjungi pada tahun 194 hijriah, dan yang keempat beliau mengunjungi pada tahun 200 hijriah.
  2. Kufah; beliau mengunjunginya pada tahun 183 hijriah, dan keluar darinya pada tahun yang sama, dan ini merupakan rihlah beliau yang pertama kali setelah keluar dari Baghdad.
  3. Makkah; beliau memasukinya pada tahun 187 hijriah, di sana berjumpa dengan imam Syafi’i. kemudian beliau mengunjunginya lagi pada tahun 196 hijriah, dan beliau juga pernah tinggal di Makkah pada tahun 197, pada tahun itu bertemu dengan Abdurrazzaq. Kemudian pada tahun 199 hijriah beliau keluar dari Makkah.
  4. Yaman; beliau meninggalkan Makkah menuju Yaman dengan berjalan kaki pada tahun 199 hijriah. Tinggal di depan pintu Ibrahim bin ‘Uqail selama dua hari dan dapat menulis hadits dari Adurrazzaq.
  5. Tharsus; Abdullah menceritakan; ‘ ayahku keluar menuju Tharsus dengan berjalan kaki.
  6. Wasith; Imam Ahmad menuturkan tentang perjalanan beliau; ‘ aku pernah tinggal di tempat Yahya bin Sa’id Al Qaththan, kemudian keluar menuju Wasith.’
  7. Ar Riqqah; Imam Ahmad menuturkan; ‘Di Riqqah aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama ketimbang Fayyadl bin Muhammad bin Sinan.’
  8. Ibadan; beliau mengunjunginya pada tahun 186 hijriah, di sana tinggal Abu Ar Rabi’ dan beliau dapat menulis hadits darinya.
  9. Mesir; beliau berjanji kepada imam Syafi’I untuk mengunjunginya di Mesir, akan tetapi dirham tidak menopangnya mengunjungi imam Syafi’I di sana.
Guru-guru beliau
Semenjak kecil imam Ahmad memulai untuk belajar, banyak sekali guru-guru beliau, diantaranya;
  1. Husyaim bin Basyir, imam Ahmad berguru kepadanya selama lima tahun di kota Baghdad.
  2. Sufyan bin Uyainah
  3. Ibrahim bin Sa’ad
  4. Yahya bin Sa’id al Qathth?ƒA¢n
  5. Wal?ƒA®d bin Muslim
  6. Ismail bin ‘Ulaiyah
  7. Al Imam Asy Syafi’i
  8. Al Qadli Abu Yusuf
  9. Ali bin Hasyim bin al Barid
  10. Mu’tamar bin Sulaiman
  11. Waki’ bin Al Jarrah
  12. ‘Amru bin Muhamad bin Ukh asy Syura
  13. Ibnu Numair
  14. Abu Bakar Bin Iyas
  15. Muhamad bin Ubaid ath Thanafusi
  16. Yahya bin Abi Zaidah
  17. Abdul Rahman bin Mahdi
  18. Yazid bin Harun
  19. Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani
  20. Muhammad bin Ja’far
Dan masih banyak lagi guru-guru beliau.
Murid-murid beliau
Tidak hanya ahli hadits dari kalangan murid-murid beliau saja yang meriwayatkan dari beliau, tetapi guru-guru beliau dan ulama-ulama besar pada masanyapun tidak ketinggalan untuk meriwayatkan dari beliau. Dengan ini ada klasifikasi tersendiri dalam kategori murid beliau, diantaranya;
Guru beliau yang meriwayatkan hadits dari beliau;
  1. Abdurrazzaq
  2. Abdurrahman bin Mahdi
  3. Waki’ bin Al Jarrah
  4. Al Imam Asy Syafi’i
  5. Yahya bin Adam
  6. Al Hasan bin Musa al Asy-yab
Sedangkan dari ulama-ulama besar pada masanya yang meriwayatkan dari beliau adalah;
  1. Al Imam Al Bukhari
  2. Al Imam Muslim bin Hajjaj
  3. Al Imam Abu Daud
  4. Al Imam At Tirmidzi
  5. Al Imam Ibnu Majah
  6. Al Imam An Nasa`i
Dan murid-murid beliau yang meriwayatkan dari beliau adalah;
  1. Ali bin Al Madini
  2. Yahya bin Ma’in
  3. Dahim Asy Syami
  4. Ahmad bin Abi Al Hawari
  5. Ahmad bin Shalih Al Mishri
Persaksian para ulama terhadap beliau
  1. Qutaibah menuturkan; sebaik-baik penduduk pada zaman kita adalah Ibnu Al Mubarak, kemudian pemuda ini (Ahmad bin Hambal), dan apabila kamu melihat seseorang mencintai Ahmad, maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah. Sekiranya dia berbarengan dengan masa Ats Tsauri dan al Auza’I serta Al Laits, niscaya Ahmad akan lebih di dahulukan ketimbang mereka. Ketika di tanyakan kepada Qutaibah; apakah anda menggabungkan Ahmad dalam kategori Tabi’in? maka dia menjawab; bahkan kibaru at tabi’in. dan dia berkata; ‘kalau bukan karena Ats Tsauri, wara’ akan sirnah. Dan kalau bukan karena Ahmad, dien akan mati.’
  2. Asy Syafi’I menuturkan; aku melihat seorang pemuda di Baghdad, apabila dia berkata; ‘telah meriwayatkan kepada kami,’ maka orang-orang semuanya berkata; ‘dia benar’. Maka ditanakanlah kepadanya; ’siapakah dia?’ dia menjawab; ‘Ahmad bin Hambal.’
  3. Ali bin Al Madini menuturkan; sesungghunya Allah memuliakan agama ini dengan perantaraan Abu Bakar pada saat timbul fitnah murtad, dan dengan perantaraan Ahmad bin Hambal pada saat fitnah Al qur`an makhluk.’
  4. Abu ‘Ubaidah menuturkan; ‘ilmu kembali kepada empat orang’ kemudian dia menyebutkan Ahmad bin Hmabal, dan dia berkata; ‘dia adalah orang yang paling fakih diantara mereka.’
  5. Abu Ja’far An Nufaili menuturkan; ‘Ahmad bin Hambal termasuk dari tokoh agama.’
  6. Yahya bin Ma’in menuturkan; ‘Aku tidak pernah melihat seseorang yang meriwayatkan hadits karena Allah kecuali tiga orang; Ya’la bin ‘Ubaid, Al Qa’nabi, Ahmad bin Hambal.’
  7. Ibrahim berkata; ‘orang ‘alim pada zamannya adalah Sa’id bin Al Musayyab, Sufyan Ats Tsaur di zamannya, Ahmad bin Hambal di zamannya.’
  8. Ibnu bi Hatim menuturkan; ‘Aku bertanya kepada ayahku tentang ‘ali bin Al Madini dan Ahmad bin Hambal, siapa diantara kedunya yang paling hafizh?’ maka ayahku menjawab; ‘ keduanya didalam hafalan saling mendekat, tetapi Ahmad adalah yang paling fakih.’
  9. Imam Syafi’i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, ?¢â‚¬?“Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.?¢â‚¬A? Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi’i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Hasil karya beliau
Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
  1. Al Musnad
  2. Al ‘Ilal
  3. An Nasikh wa al Mansukh
  4. Az Zuhd
  5. Al Asyribah
  6. Al Iman
  7. Al Fadla`il
  8. Al Fara`idl
  9. Al Manasik
  10. Tha’atu ar Rasul
  11. Al Muqaddam wa al mu`akhkhar
  12. Jawwabaatu al qur`an
  13. Haditsu Syu’bah
  14. Nafyu at tasybih
  15. Al Imamah
  16. Kitabu al fitan
  17. Kitabu fadla`ili ahli al bait
  18. Musnad ahli al bait
  19. Al asmaa` wa al kunaa
  20. Kitabu at tarikh
Masih ada lagi buku-buku yang di nisbahkan kepada imam Ahmad, diantaranya;
  1. At tafsir. Adz Dzahabi berpendapat bahwa buku tersebut tidak ada.
  2. Ar Risalah fi ash shalah
  3. Ar Radd ‘ala al jahmiyyah.
Ada lagi beberapa hasil karya beliau yang di kumpulkan oleh Abu Bakar al Khallal, diantaranya;
  1. Kitabu al ‘illal
  2. Kitabu al ‘ilmi
  3. Kitabu as sunnah.
Wafatnya beliau
Pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajalnya di Baghdad. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.(lidwa.com)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Imam at-Tirmidzi

Kitab Jami’ TirmidziNama lengkapnya adalah Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz. Perkembangan dan Perjalanannya
Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain.
Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan.
Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu ‘Isa aat-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti.
Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadits Terhadapnya
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya.
Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Siqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: “Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama.
Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas.
Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.” Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.”
Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nash-nash hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
2. Kitab Al-‘Ilal.
3. Kitab At-Tarikh.
4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
5. Kitab Az-Zuhd.
6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolong salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram
Disalin dari Biografi Tirmidzi dalam Kutubus Sittah;Abu Syuhbah no.83 Via Facebook  Biografi Ulama
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Imam Muslim

http://www.faithinallah.org/wp-content/uploads/2010/12/sahih-muslim.jpg
Pertumbuhan beliau
Nama: Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi
Kuniyah beliau: Abdul Husain
Nasab beliau:
  1. Al Qusyairi; merupakan nisbah kepada Qabilah afiliasi beliau, ada yang mengatakan bahwa Al Qusyairi merupakan orang arab asli, dan ada juga yang berpendapat bahwa nisbah kepada Qusyair merupakan nisbah perwalian saja
  2. An Naisaburi; merupakan nisbah yang di tujukan kepada negri tempat beliau tinggal, yaitu Naisabur. Satu kota besar yang terletak di daerah Khurasan
Tanggal lahir:
Para ulama tidak bisa memastikan tahun kelahiran beliau, sehingga sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa tahun kelahirannya adalah tahun 204 Hijriah, dan ada juga yang berpendapat bahwa kelahiran beliau pada tahun 206 Hijriah.
Ciri-ciri beliau:
Beliau mempunyai perawakan yang tegap, berambut dan berjenggot putih, menjuntaikan ujung ‘imamahnya diantara dua punggungnya.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Sesungguhnya lingkungan tempat tumbuh imam Muslim memberikan peluang yang sangat luas untuk menuntut ilmu yang bermanfa’at, karena Naisabur merupakan negri hidup yang penuh dengan peninggalan ilmu dari pemilik syari’at.
Semua itu terjadi karena banyaknya orang-orang yang sibuk untuk memperoleh ilmu dan mentransfer ilmu, maka besar kemungkinan bagi orang yang terlahir di lingkungan masyarakat seperti ini akan tumbuh dengan ilmu juga. Adanya kesempatan yang terpampang luas di hadapan Imam Muslim kecil untuk memetik dari buah-buah ilmu syariat tidak di sia-siakannya.
Maka dia mendengar hadits di negrinya tinggal pada tahun 218 Hijriah dari gurunya Yahya bin Yahya At Tamimi, pada saat itu umurnya menginjak empat belas tahun.
Dan bisa juga orang tuanya serta keluarganya mempunyai andil dalam memotifasinya untuk menuntut ilmu. Para ulama telah menceritakan bahwa orang tuanya, Al Hajaj adalah dari kalangan masyayikh, yaitu termasuk dari kalangan orang yang memperhatikan ilmu dan berusaha untuk memperolehnya.
Muslim mempunyai kesempatan untuk mengadakan perjalanan hajinya pada tahun 220 Hijriah. Pada saat keluar itu dia mendengar hadits dari beberapa ahli hadits, kemudian dia segera kembali ke negrinya Naisabur.
Rihlah beliau
Rihlah dalam rangka menuntut hadits merupakan syi’ar ahlul hadits pada abad-abad pertama, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri Islam yang sangat luas. Maka Imam Muslim pun tidak ketinggalan dengan meniti jalan pakar disiplin ilmu ini, dan beliau pun tidak ketinggalan dalam ambil bagian, karena dalam sejarah beliau tertulis rihlah ilmiahnya, diantaranya;
Rihlah pertama; rihlah beliau untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 220 hijriah, pada saat dia masih muda belia, pada saat itu beliau berjumpa dengan syaikhnya, Abdullah bin Maslamah al Qa’nabi di Makkah, dan mendengar hadits darinya, sebagaimana beliau juga mendengar hadits dari Ahmad binYunus dan beberapa ulama hadits yang lainnya ketika di tengah perjalanan di daerah Kufah. Kemudian kembali lagi ke negrinya dan tidak memperpanjang rihlahnya pada saat itu.
Rihlah kedua; rihlah kedua ini begitu panjang dan lebih menjelajah kenegri Islam lainnya. Rihlah ini di mulai sebelum tahun 230 Hijriah. Beliau berkeliling dan memperbanyak mendengar hadits, sehingga beliau mendengar dari bayak ahli hadits, dan mengantarkan beliau kepada derajat seorang imam dan kemajuan di bidang ilmu hadits.
Beberapa negri yang beliau masuki, di antaranya;
  1. Khurasan dan daerah sekitarnya
  2. Ar Ray
  3. Iraq; beliau memasuki Kufah, Bashrah dan Baghdad.
  4. Hijaz; memasuki Makkah dan Madinah
  5. Asy Syam
  6. Mesir
Guru-guru beliau
Perjalanan ilmiah yang dilakukan imam Muslim menyebabkan dirinya mempunyai banyak guru dari kalangan ahlul hadits. Al Hafizh Adz Dzahabi telah menghitung jumlah guru yang diambil riwayatnya oleh imam Muslim dan dicantumkan di dalam kitab shahihnya, dan jumlah mereka mencapai 220 orang, dan masih ada lagi selain mereka yang tidak di cantumkan di dalam kitab shahihnya
Di antara guru-guru beliau yang paling mencolok adalah;
  1. Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi, guru beliau yang paling tua
  2. Al Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari
  3. Al Imam Ahmad bin Hambal
  4. Al Imam Ishaq bin Rahuyah al Faqih al Mujtahid Al Hafizh
  5. Yahya bin Ma’in, imam jarhu wa ta’dil
  6. Ishaq bin Manshur al Kausaj
  7. Abu Bakar bin Abi Syaibah, penulis buku al Mushannaf
  8. Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi
  9. Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Alaa`
  10. Muhammad bin Abdullah bin Numair
  11. Abd bin Hamid
Murid-murid beliau
Al Imam Muslim sibuk menyebarkan ilmunya di negrinya dan negri-negri Islam lainnya, baik dengan pena maupun dengan lisannya, maka beliau pun tidak terlepas untuk mendektekan hadits dan meriwayatkannya, sehingga banyak sekali para penuntut ilmu mengambil ilmu dari beliau.
Di antara murid-murid beliau antara lain;
  1. Muhammad bin Abdul wahhab al Farra`
  2. Abu Hatim Muhammad bin Idris ar Razi
  3. Abu Bakar Muhammad bin An Nadlr bin Salamah al Jarudi
  4. Ali bin Al Husain bin al Junaid ar Razi
  5. Shalih bin Muhammad Jazrah
  6. Abu Isa at Tirmidzi
  7. Ibrahim bin Abu Thalib
  8. Ahmad bin Salamah An Naisaburi
  9. Abu Bakar bin Khuzaimah
  10. Makki bin ‘Abdan
  11. Abdurrahman bin Abu Hatim ar Razi
  12. Abu Hamid Ahmad bin Muhammad bin Asy Syarqi
  13. Abu Awanah al-Isfarayini
  14. Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al Faqih az Zahid.
Persaksian para ulama terhadap beliau
  1. Ishak bin Mansur al Kausaj pernah berkata kepada imam Muslim: “sekali-kali kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin.”
  2. Muhammad bin Basysyar Bundar berkata; “huffazh dunia itu ada empat; Abu Zur’ah di ar Ray, Muslim di An Naisabur, Abdullah Ad Darimi di Samarkand, dan Muhammad bin Isma’il di Bukhara.”
  3. Muhammad bin Abdul Wahhab Al Farra` berkata; “(Muslim) merupakan ulama manusia, lumbung ilmu, dan aku tidak mengetahuinya kecuali kebaikan.”
  4. Ahmad bin Salamah An Naisaburi menuturkan; “Saya me­lihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dalam perkara hadits shahih ketimbang para masyayikh zaman keduanya.
  5. Ibnu Abi Hatim mengatakan: ” Saya menulis hadits darinya di Ray, dan dia merupakan orang yang tsiqah dari kalangan huffazh, memiliki pengetahuan yang mendalam dalam masalah hadits. Ketika ayahku di Tanya tentang dia, maka dia menjawab; (Muslim) Shaduuq.”
  6. Maslamah bin Qasim al Andalusi berkata; ” tsiqah, mempunyai kedudukan yang agung, termasuk dari kalangan para imam.”
  7. Abu Ya’la Al Khalili berkata; “dia sangat familier sekali untuk di sebutkan keutamaannya.”
  8. Al Khatib Al Baghdadi berkata; “(dia) merupakan salah seorang a`immah dan penghafal hadits.”
  9. As Sam’ani menuturkan; “termasuk salah seorang imam dunia.”
  10. Ibnul Atsir berkata; “termasuk salah seorang dari para imam penghafal hadits.”
  11. Ibnu Katsir berkata; “termasuk salah seorang dari para imam penghafal hadits.”
  12. Adz Dzahabi berkata; ” Imam besar, hafizh lagi mumpuni, hujah serta orang yang jujur.”
Hasil karya beliau
Imam Muslim mempunyai hasil karya dalam bidang ilmu hadits yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya ada yang sampai kepada kita dan sebagian lagi ada yang tidak sampai.
Adapun hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah;
  1. Al Jami’ ash Shahih
  2. Al Kuna wa Al Asma’
  3. Al Munfaridaat wa al wildan
  4. Ath Thabaqaat
  5. Rijalu ‘Urwah bin Az Zubair
  6. At Tamyiz
Sedangkan hasil karya beliau yang tidak sampai kepada kita adalah;
  1. Al Musnad al Kabir ‘Ala ar Rijal
  2. Al Jami’ al Kabir
  3. Al ‘Ilal
  4. Al Afraad
  5. Al Aqraan
  6. Su’alaat Muslim
  7. Hadits ‘Amru bin Syu’aib
  8. Al Intifaa’ bi`ahabbi as sibaa’
  9. Masyayikhu Malik
  10. Masyayikhu Ats Tsauri
  11. Masyayikhu Syu’bah
  12. Man laisa lahu illa raawin waahid
  13. Kitab al Mukhadldlramin
  14. Awladu ash shahabah
  15. Dzikru awhaami al Muhadditsin
  16. Afraadu Asy Syamiyyin
Wafatnya beliau
Imam Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H bertepatan dengan 5 Mei 875. dalam usia beliau 55 tahun. (lidwa.com)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Imam An-Nasa’i

Kitab Sunan al-Nasa’iNama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H.
Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Pengembaraan intelektual
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Guru dan murid
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid.
Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Kitab al-Mujtaba
Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kritik Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalam Sunan al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalam Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i berkualitas shahih.
Komentar Ulama
Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya.
Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.
Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.
Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.
Sumber: Facebook Biografi Ulama
------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Al-Imam Abu Dawud

Nama lengkap Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar al-Azdi as-Sijistani.Beliau adalah Imam dan tokoh ahli hadits, serta pengarang kitab sunan. Beliau dilahirkan tahun 202 H. di Sijistan. Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmunya. Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengemba-raannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulang kali mengunjungi Bagdad. Di kota itu, dia me-ngajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab sunan sebagai buku pe-gangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Guru-gurunya
Jumlah guru Imam Abu Dawud sangat banyak. Di antara gurunya yang paling menonjol antara lain: Ahmad bin Hanbal, al-Qan’abi, Abu Amar ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin raja’, Abdul Walid at-Tayalisi dan lain–lain. Sebagian gurunya ada yang menjadi guru Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah dan Qutaibah bin sa’id.
Murid-muridnya
Ulama yang pernah menjadi muridnya dan yang meriwayatkan hadits-nya antara lain Abu Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa’i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awana, Abu Sa’id aI-Arabi, Abu Ali al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan lain-lain.
Sifat dan kepribadiannya
Abu Dawud termasuk ulama yang mencapai derajat tinggi dalam beribadah, kesucian diri, kesalihan dan wara’ yang patut diteladani.
Sebagian ulama berkata: “Perilaku Abu Dawud, sifat dan kepribadiannya menyerupai Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal menyerupai Waki’, Waki’ seperti Sufyan as-Sauri, Sufyan seperti Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai Alqamah. “Alqamah seperti Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Mas’ud seperti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat dan kepribadian seperti ini menunjukkan kesempurnaan beragama, prilaku dan akhlak Abu Dawud.Abu Dawud mempunyai falsafah tersendiri dalam berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar dan satunya lagi sempit. Bila ada yang bertanya, dia menjawab: “Lengan yang lebar ini untuk membawa kitab, sedang yang satunya tidak diperlukan. Kalau dia lebar, berarti pemborosan.”
Ulama memuji Abu Dawud
Abu Dawud adalah seorang tokoh ahli hadits yang menghafal dan memahami hadits beserta illatnya. Dia mendapatkan kehormatan dari para ulama, terutama dari gurunya, Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafiz Musa bin Harun berkata: “Abu Dawud diciptakan di dunia untuk Hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari dia.”
Sahal bin Abdullah at-Tastari, seorang sufi yang alim mengunjungi Abu Dawud dan berkata: “Saya adalah Sahal, datang untuk mengunjungimu.” Abu Dawud menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Lalu Sahal berkata: “Abu Dawud, saya ada keperluan.” Dia bertanya: “Keperluan apa?” Sahal menjawab: “Nanti saya katakan, asalkan engkau berjanji memenuhi permintaanku.” Abu Dawud menjawab: “Jika aku mampu pasti kuturuti.” Lalu Sahal mengatakan: “Julurkanlah lidahmu yang engkau gunakan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sehingga aku dapat menciumnya” Lalu Abu Dawud menjulurkan lidahnya kemudian dicium Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang Ulama hadits, berkata: “Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagai-mana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud.” Ungkapan itu adalah perumpama-an bagi keistimewaan seorang ahli hadits. Dia telah mempermudah yang rumit dan mendekatkan yang jauh, serta memudahkan yang sukar.
Seorang Ulama hadits dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbali, Abu Bakar al-Khallal, berkata: “Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani adalah Imam terkemuka pada jamannya, penggali beberapa bidang ilmu sekaligus mengetahui tempatnya, dan tak seorang pun di masanya dapat me-nandinginya.
Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah selalu menyanjung Abu Dawud, dan mereka memujinya yang belum pernah diberikan kepada siapa pun di masanya.Mazhab yang diikuti Abu Dawud
Syaikh Abu Ishaq as-Syairazi dalam Tabaqatul Fuqaha menggolong-kan Abu Dawud sebagai murid Imam Ahmad bin Hanbal. Begitu pula Qadi Abdul Husain Muhammad bin Qadi Abu Ya’la (wafat tahun 526 H.) yang termaktub dalam kitab Tabaqatul Hanabilah. Penilaian ini disebabkan, Imam Ahmad adalah guru Abu Dawud yang istimewa. Ada yang mengatakan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Memuliakan ilmu dan ulama
Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama ini dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: “Aku bersama Abu Dawud tinggal di Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu Dawud bertanya: “Apa yang mendorong Amir ke sini?” Amir pun menjawab “Ada tiga kepentingan”. “Kepentingan apa?” Tanya Abu Dawud. Amir mengatakan: “Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar dari seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi. Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji.”
Abu Dawud berkata: “itu yang pertama, lalu apa yang kedua?” Amir menjawab: “Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada anak-anakku.” “Yang ketiga?” tanya Abu Dawud. “Hendaklah anda membuat majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk bersama orang umum.” Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia itu, baik pejabat terhormat maupun rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama.” Ibnu Jabir menjelaskan: “Sejak itu putra-putra khalifah menghadiri majlis taklim, duduk bersama orang umum, dengan diberi tirai pemisah”.
Begitulah seharusnya, ulama tidak mendatangi raja atau penguasa, tetapi merekalah yang harus mengunjungi ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.
Wafatnya
Setelah hidup penuh dengan kegiatan ilmu, mengumpulkan dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud wafat di Basrah, tempat tinggal atas per-mintaan Amir sebagaimana yang telah diceritakan. la wafat tanggal 16 Syawal 275 H. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridanya kepada-nya.
Putra Abu Dawud
Imam Abu Dawud meninggalkan seorang putra bernama Abu Bakar Abdullah bin Abu Dawud. Dia adalah seorang Imam hadits putra seorang imam hadits pula. Dilahirkan tahun 230 H. dan wafat tahun 316 H.
Kitab karangan Abu Dawud
Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
1. Kitab as-Sunan
2. Kitab al-Marasil
3. Kitab al-Qadar
4. An-Nasikh Wal Mansukh
5. Fada’ilul A’mal
6. Kitab az-Zuhud
7. Dalailun Nubuwah
8. Ibtida’ul Wahyu
9. Ahbarul Khawarij
Di antara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.
Sumber: Fi Rihabi as-Sunnah al Kutubi al-Shihahi al-Sittah via Facebook Biografi Ulama
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Imam Ibnu Majah

Sunan Ibnu Majah Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits. Nama Lengkap, Kelahiran dan Wafatnya
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata “Majah” dalam nama beliau adalah dengan huruf “ha” yang dibaca sukun; inilah pendapat yang sahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan “ta” (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam Ibnu Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan
pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah.
Pengembaraannya
Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadits dan periwayatannya. Untuk mencapai
usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadits, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah,
Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadits kepada ulama-ulama hadits. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan
al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktivitas Periwayatannya
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin ‘Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibnu Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya
Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits.”
Imam adz-Dzahabi dalam Tazkiratul Huffaz, melukiskannya sebagai seorang ahli hadits besar mufasir, pengarang kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Ibnu Katsir, seorang ahli hadits dan kritikus hadits berkata dalam Bidayah-nya:
“Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab sunan yang masyur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya, keluasan pengetahuan dan
pandangannya, serta kredibilitas dan loyalitasnya kepada hadits dan usul dan furu’.”
Karya-karyanya
Imam Ibnu Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
1.. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab
Hadits yang Pokok).
2.. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti
diterangkan Ibnu Katsir.
3.. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibnu Majah.
Sekilas Tentang Sunan Ibnu Majah
Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibnu Majah terbesar yang masih beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibnu Majah menjadi terkenal.
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedang jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah hadits.
Kitab sunan ini disusun menurut sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibnu Majah memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam. Dalam bab ini ia menguraikan hadits-hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibnu Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadits Pokok” mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
1.. Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
2.. Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
3.. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4.. Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
5.. Sunan Tirmizi, karya Imam Tirmizi.
6.. Sunan Ibnu Majah, karya Imam Ibnu Majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam
kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat
mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibnu Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab AlMuwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih sahih daripada Sunan Ibnu Majah, hal ini mengingat bahwa Sunan Ibnu Majah banyak zawa’idnya (tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta’ susunan Imam Malik ini sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab Pokok), bukan Sunan Ibnu Majah.
Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil
Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Nilai Hadits-hadits Sunan Ibnu Majah
Sunan Ibn Majah memuat hadits-hadits sahih, hasan, dan da’if (lemah), bahkan hadits-hadits munkar dan maudu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima Kitab Pokok). Hal ini karena kitab sunan ini yang paling banyaknya hadits-hadits
da’if di dalamnya.
Oleh karena itu tidak seyogyanya kita menjadikan hadits-hadits yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan Ibnu Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah
mengkaji dan meneliti terlebih dahulu mengenai keadaan hadits-hadits tersebut. Bila ternyata hadits dimaksud itu sahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan
pegangan. Jika tidak demikian adanya, maka hadits tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Sulasiyyat Ibnu Majah
Ibnu Majah telah meriwayatkan beberapa buah hadits dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia dengan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam hanya terdapat tiga perawi.
Hadits semacam inilah yang dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.
Sumber: Kitab Hadis Sahih yang Enam, Muhammad Abu Syuhbah via Facebook Biografi Ulama
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Al-Imam ad-Darimi

http://www.pustakaazzam.com/image-product/tmb163.jpgPertumbuhan beliau
Nama: Beliau adalah Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad.
Kuniyah beliau; Abu Muhammad
Nasab beliau:
  1. At Tamimi; adalah nisbah yang ditujukan kepada satu qabilah Tamim.
  2. Ad Darimi; adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at Tamimi. Dengan nisbah ini beliau terkenal.
  3. As Samarqandi; yaitu nisbah kepada negri tempat tinggal beliau
Tanggal lahir:
Ia di lahirkan pada taun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan; ‘aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak, yaitu tahun seratus delapan puluh satu.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun seratus delapan puluh dua hijriah.
Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Allah menganugerahkan kepada iama Ad Darimi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Beliau berjumpa dengan para masyayikh dan mendengar ilmu dari mereka. Akan tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan secara pasti sejarah beliau dalam memulai menuntut ilmu
Beliau adalah sosok yang tawadldlu’ dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadits dari kibarul ulama dan shigharul ulama, sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadits dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi dia jua seorang yang sangat selektif dan berhati-hati, karena dia selalu mendengar hadits dari orang-orang yang terpercaya dan tsiqah, dan dia tidak meriwayatkan hadits dari setiap orang.
Rihlah beliau
Rihlah dalam rangka menuntut ilmu merupakan bagian yang sangat mencolok dan sifat yang paling menonjol dari tabiat para ahlul hadits, karena terpencarnya para pengusung sunnah dan atsar di berbagai belahan negri islam yang sangat luas. Maka Imam ad Darimi pun tidak ketinggalan dengan meniti jalan pakar disiplin ilmu ini.
Diantara negri yang pernah beliau singgahi adalah;
  1. Khurasan
  2. Iraq
  3. Baghdad
  4. Kufah
  5. Wasith
  6. Bashrah
  7. Syam; Damasqus, Himash dan Shur.
  8. Jazirah
  9. Hijaz; Makkah dan Madinah.
Guru-guru beliau
Guru-guru imam Ad Darimi yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
  1. Yazid bin Harun
  2. Ya’la bin ‘Ubaid
  3. Ja’far bin ‘Aun
  4. Basyr bin ‘Umar az Zahrani
  5. ‘Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi
  6. Hasyim bin al Qasim
  7. ‘Utsman bin ‘Umar bin Faris
  8. Sa’id bin ‘Amir adl Dluba’i
  9. Abu ‘Ashim
  10. ‘Ubaidullah bin Musa
  11. Abu al Mughirah al Khaulani
  12. Abu al Mushir al Ghassani
  13. Muhammad bin Yusuf al Firyabi
  14. Abu Nu’aim
  15. Khalifah bin Khayyath
  16. Ahmad bin Hmabal
  17. Yahya bin Ma’in
  18. Ali bin Al Madini
Dan yang lainnya
Murid-murid beliau
Sebagaimana kebiasaan ahlul hadits, ketika mereka mengetahui bahwa seorang alim mengetahui banyak hadits, maka mereka berbondong-bondong mendatangi alim tersebut, guna menimba ilmu yang ada pada diri si ‘alim. Begitu juga dengan Imam Ad Darimi, ketika para penuntut ilmu mengetahui kapabaliti dalam bidang hadits yang dimiliki imam, maka berbondong-bondong penuntut ilmu mendatanginya, diantara mereka itu adalah;
  1. Imam Muslim bin Hajaj
  2. Imam Abu Daud
  3. Imam Abu ‘Isa At Tirmidzi
  4. ‘Abd bin Humaid
  5. Raja` bin Murji
  6. Al Hasan bin Ash Shabbah al Bazzar
  7. Muhammad bin Basysyar (Bundar)
  8. Muhammad bin Yahya
  9. Baqi bin Makhlad
  10. Abu Zur’ah
  11. Abu Hatim
  12. Shalih bin Muhammad Jazzarah
  13. Ja’far al Firyabi
  14. Muhammad bin An Nadlr al Jarudi
Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Persaksian para ulama terhadap beliau
  1. Imam Ahmad menuturkan; (Ad Darimi) imam.
  2. Muhammad bin Basysyar Bundar menuturkan; penghafal dunia ada empat: Abu Zur’ah di ar Ray, Muslim di an Nasaiburi, Abdullah bin Abdurrahman di Samarqandi dan Muhamad bin Ismail di Bukhara”.
  3. Abu Sa’id al Asyaj menuturkan; ‘Abdullah bin Abdirrahman adalah imam kami.’
  4. Muhammad bin Abdullah al Makhrami berkata; ‘wahai penduduk Khurasan, selagi Abdullah bin Abdurrahman di tengah-tengah kalian, maka janganlah kalian menyibukkan diri dengan selain dirinya.’
  5. Raja` bin Murji menuturkan; ‘aku telah melihat Ibnu Hambal, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu al Madini dan Asy Syadzakuni, tetapi aku tidak pernah melihat orang yang lebih hafizh dari Abdullah.
  6. Abu Hatim berkata; Muhammad bin Isma’il adalah orang yang paling berilmu yang memasuki Iraq, Muhammad bin Yahya adalah orang yang paling berilmu yang berada di Khurasan pada hari ini, Muhammad bin Aslam adalah orang yang paling wara’ di antara mereka, dan Abdullah bin Abdurrahman orang yang paling tsabit diantara mereka.
  7. Ad Daruquthni menuturkan; ‘ tsiqatun masyhur.
  8. Muhammad bin Ibrahim bin Manshur as Sairazi menuturkan; “Abdullah adalah puncak kecerdasan dan konsistensi beragama, di antara orang yang menjadi teladan dalam kesantunan, keilmuan, hafalan, ibadah dan zuhud”.
Hasil karya beliau

  1. Sunan ad Darimi.
  2. Tsulutsiyat (kitab hadits)
  3. al Jami’
  4. Tafsir
Wafatnya beliau
Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bertepatan dengan hari tarwiyyah, 8 Dzulhidjah, setelah ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).(lidwa.com)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar